TAFSIR: ETIKA MENERIMA BARANG TITIPAN DAN WADI'AH

BAB 1

PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang

Dengan banyak melihat fenomena yang ada di sekitar kita dimana salah satunya yang akan kami bahas dalam makalah ini, yaitu penitipan barang (wadi’ah). Seiring dengan bermunculannya lembaga-lembaga penitipan barang dapat sedikit membantu ketika seorang ingin menitipkan barangnya dalam waktu yang cukup lama, mereka tidak khawatir dengan keadaan keadaan barang yang ditinggalkannya itu, sebab dalam lembaga tersebut telah menjaminakan keaslian barangnya. Namun dengan sedikit mengeluarkan biaya.
Kita lihat di masyarakat sangatlah tidak asing lagi dalam hal penitipan barang, atau menitipkan sebuah barang kepada orang lain.  Seseorang berani menitipkan barang kepada orang lain hanya yang biasa di kenal saja, sungguh belum tentu seorang yang kita kenal tersebut bias menjaga barang kita dengan baik, bias saja terjadi kelalaian atau kerusakan ketika barang yang dititipkan tersebut dipakai oleh seorang yang diberikan amanah tersebut, dengan alasan yang banyak dan dengan kedekatannya seorang penitip kepada seorang yang diberikan amanah, kemudian seorang yang diberi amanah tersebut menipu, ketika terjadi kerusakan pada barang yang dititipkan kepadanya. Dengan alas an apapun bisa di terima si penitip karena si penitip yakin bahwa orang yang  dikenal dan dekat denganya tidak mungkin melakukan penipuan terhadapnya.  
Oleh karena itu, fenomena yang demikian perlulah diperhatikan oleh seorang yang diberikan amanah dan pemberi amanah. Mempelajari apa yang harus dikerjakan ketika seorang diberikan atau memberikan barang titipan (wadi’ah) kepada orang lain. Memilih jalan yang lebih aman dengan menitipkan barang pada lembaga-lembaga penitipan barang yang ada di sekitar kita.

B.     Rumusan Masalah

1.    Apa definisi wadi’ah ?
2.    Apakah syarat dan rukun wadi’ah ?
3.    Bagaimana kandungan ayat tentang wadi’ah dalam QS Al-Imran : 75 ?

C.     Tujuan

1.      Untuk  mengetahui definisi wadi’ah.
2.      Untuk mengetahi syarat dan rukun wadi’ah.
3.      Untuk memahami kandungan ayat tentang wadi’ah dalam QS Al-Imran : 75.



BAB II

PEMBAHASAN


A.    Pengertian Wadi’ah

Wadiah menurut bahasa adalah barang yang dititipkan orang lain supaya dijaga. Sedangkan menurut istilah wadiah adalah pemberian otoritas pemilikan suatu barang kepada orang lain agar dijaga secara jelas dan tegas.
Para ulama dari kalangan mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hambali (jumhurul ulama) mendefinisikan wadiah sebagai mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara tertentu. Sedangkan ulama mazhab Hanafi berpendapat wadi’ah adalah mengikut sertakan orang lain untuk memelihara harta baik ungkapan yang jelas (melalui tindakan maupun isyarat).
Dalam tradisi islam, wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendakinya.
Dalam melakukan transaksi penitipan harta, hendaknya melakukan ketetapan jenis penitipan. Memilih orang yang dapat dipercaya saat penitipan hingga orang tersebut dapat lebih amanah atau melakukan perjanjian yang disepakati yang mewajibkan bagi keduanya unuk saling bertakwa dengan jalan tidak saling merugikan penjelasan QS Al-Imran : 75.[1]

B.     Syarat dan Rukun Wadi’ah

1.      Syarat wadi’ah
Pihak yang melakukan transaksi ini adalah orang yang baligh, berakal, dan rasyid (berpikiran matang). Artinya, bila ada anak atau orang gila menitipkan sesuatu, maka tidak boleh untuk diterima, terkecuali dalam keadaan terpaksa yang apabila barang atau harta itu tidak diterima, ia akan rusak atau hilang. Disamping itu, keharusan adanya penunjukan untuk menentukan siapa yang dititipi, dan bukan ditujukan kepada umum.
2.      Rukun wadi’ah
Menurut Hanafiah, rukun wadiah adalah ijab dan qobul, sedangkan yang lain termasuk syarat tidak termasuk rukun. Menurut Hanafiyah dalam shigot ijab dianggap sah apabila ijab tersebut dilakukan dengan perkataan jelas (sharih) maupun dengan perkataan samar (kinayah).
Sedangkan menurut Syafi’iyah rukun wadiah yang harus dipenuhi dalam transaksi dengan prinsip wadiah adalah:
a.      Barang yang dititipkan (wadiah)
b.   Orang yang menitipkan atau penitip (muwaddi) dan orang yang menerima titipan (muda atau mustawda)
c.      Ijab-qobil (sighot)

C.     Kaitan Kandungan QS Al-Imran : 75 dengan Wadi’ah


۞ وَمِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ مَنْ إِنْ تَأْمَنْهُ بِقِنْطَارٍ يُؤَدِّهِ إِلَيْكَ وَمِنْهُمْ مَنْ إِنْ تَأْمَنْهُ بِدِينَارٍ لَا يُؤَدِّهِ إِلَيْكَ إِلَّا مَا دُمْتَ عَلَيْهِ قَائِمًا ۗ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا لَيْسَ عَلَيْنَا فِي الْأُمِّيِّينَ سَبِيلٌ وَيَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
Artinya: “Di antara Ahli kitab ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya harta yang banyak, dikembalikannya kepadamu; dan di antara mereka ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya satu dinar, tidak dikembalikannya kepadamu kecuali jika kamu selalu menagihnya. Yang demikian itu lantaran mereka mengatakan: "tidak ada dosa bagi kami terhadap orang-orang ummi. Mereka berkata dusta terhadap Allah, padahal mereka mengetahui.”
Kata
Arti kata
Makna
وَمِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ
Dan dianatara ahli kitab
(Diantara ahli kitab ada orang yang apabila kamu percayakan kepadanya harta yan banyak) atau berharga
مَنْ إِنْ تَأْمَنْهُ
(ada) orang yang jika engkau percayakan kepadanya
بِقِنْطَارٍ
Dengan harta banyak
يُؤَدِّهِ
(ia) melasanakan (mengembalikan)nya
(maka dikembalikannya kepadamu) disebabkan sifat amanatnya. Misalnya Abdullah bin Salam yang mendapatka amanat atau titipan  dari seorang laki-laki sebanyak 1200 uqiah emas, maka di penuhinya amanat itu dengan sebaik-baiknya.
إِلَيْكَ
Kepada-Mu
وَمِنْهُمْ
Dan diantara mereka
(dan diantara mereka ada pula yang jika kamu percayai dengan satu dinar, maka tidak  dikembalikannya) karena sifat culasnya
مَنْ إِنْ تَأْمَنْهُ
(ada) orang yang jika engkau percayakan kepadanya
بِدِينَار
Dengan satu dinar
لَا يُؤَدِّهِ
(ia) tak melaksanakan (mengembalikan)nya
إِلَيْكَ
Kepada-Mu
إِلَّا
Kecuali
(kecuali jika kamu selalu menagihnya) tidak meninggalkannya. apabila kamu meninggalkannya, maka titipan tadi tidak dilakuinya, misalnya Ka’ab bin Asyarf yang di beri amanat oleh seorang Quraisy sebanyak satu dinar, maka tidak dilakuinya.
مَا دُمْتَ
Selama engkau
عَلَيْهِ
Kepadanya
قَائِمًا
Berdiri (menagih)
ذَٰلِكَ
Itu (adalah)
(Yang demikian itu) artinya sikap tak mau membayar itu
بِأَنَّهُمْ
Karena sesungguhnya
(bahwa mereka berkata) artinya disebabkan perkataan mereka
قَالُو
Mereka berkata
لَيْسَ
Tidaklah
(tak ada terhadap kami mengenai orang-orang buta huruf) maksudnya orang Arab
عَلَيْنَا
Atas kami
فِي الْأُمِّيِّينَ
Pada orang-orang ummy (buta huruf/bangsa Arab)
سَبِيلٌ
Jalan (dosa)
(tuntutan) atau dosa. Sebabnya mereka menghalalkan mengenainya orang-orang yang berlainan agama dengan mereka, dan pengakuan itu mereka nisbatkan pula kepada Allah swt. Firman Allah:
وَيَقُولُونَ
Dan mereka mengatakan
(mereka berkata dusta kepada Allah) maksudnya dalam menisbatkan penghalalan itu kepada-Nya
عَلَى اللَّهِ
Terhadap Allah
الْكَذِبَ
Kedustaan
وَهُمْ
Dan mereka
(padahal mereka mengetahui) bahwa mereka berdusta.[2]

يَعْلَمُونَ[3]
Mereka mengetahui[4]

TAFSIR
Pembahasan mengenai qinthar sudah disampaikan di awal surat. Adapun dinar, maka itu sudah diketahui secara umum. Ibnu Abi Hatim mengatakan Sa`id bin Amr As-Sakuni menuturkan kepada kami, Baqiyah menuturkan kepada kami, dari Ziyad bin Al-Haitsam. Malik bin Dinar menuturkan kepada kami, dan naar (neraka). Maknanya, siapa yang mengambilnya dengan haknya maka itu adalah diinnya, sebaliknya siapa yang mengambilnya tanpa haknya maka itu adalah naarnya.
Maka sangat pas sekali bila di sini disebutkan sebuah hadits yang dicantumkan oleh Al-Bukhari di beberapa tempat dalam kitab shahihnya, dimana yang paling bagus penuturannya ialah hadits yang ada di dalam kitab Al-Kafalah. Al-Bukhari berkata: Al-Laits berkata, Ja`far bin Rabi`ah menyampaikan hadits kepadaku, dari Abdurrahman bin Hurmuz Al-A`raj, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah. Suatu ketika beliau pernah menceritakan ada seorang laki-laki dari Bani Isra`il yang meminta pinjaman uang sebesar seribu dinar kepada Bani Isra`il yang lain. Maka laki-laki (yang meminjami) berkata,”Datanglah kepadaku beberapa orang untuk menjadi saksi. “Ia menjawab,”Cukuplah Allah sebagai saksinya.” Laki-laki tersebut berkata,” Datanglah seorang untuk menjadi penjaminnya. “Ia menjawab,”Cukuplah Allah sebagai penjaminnya.”Laki-laki tersebut berkata”Kamu benar”. Lalu ia pun memberikan pinjaman kepadanya sampai batas waktu yang telah ditentukan.”
Laki-laki yang meminjam kemudian pergi melalui jalan laut untuk suatu keperluan. Setelah keperluan selesai, ia kemudian mencari perahu yang dapat ia tumpangi menemui laki-laki yang telah memberinya pinjaman karena batas waktu yang ditetapkan telah tiba. Sayangnya ia tidak juga mendapatkan perahu. Ia pun mengambil sebongkah kayu lalu ia lobangi dan ia memasukkan ke dalamnya uang sebesar seribu dinar berikut sepucuk surat darinya yang ia tunjukkan kepada temannya yang telah meminjami uang. Lalu lobang itu ia tutp kembali rapat-rapat dan ia bawa ke tepi laut.
Ia lantas berkata,”Ya Allah!Engkau tentu tahu kalau aku telah meminjam uang sebesar seribu dinar dari si fulan, lalu ia minta penjamin dariku dan aku katakan kepadanya, `Cukuplah Allah sebagai jaminannya.` Lalu ia ridha denganMu. Ia juga meminta saksi dariku lalu aku katakan kepadanya, `Cukuplah Allah sebagai saksinya.`Dan ternyata ia juga ridha dengan-Mu. Aku sudah berusaha semaksimal mungkin untuk mendapat perahu agar dapat membayarkan uang pinjaman  ini tepat waktu tapi aku tidak juga mendapatkan perahu. Aku titipkan uang ini kepada-Mu.”Lalu laki-laki tersebut melempar kayu tersebut melempar kayu tersebut ke laut hingga hanyut di dalamnya. Setelah itu ia pergi untuk kembali mencari perahu agar dapat pulang ke negerinya.
Sementara itu, laki-laki yang meminjami uang keluar rumah untuk melihat-lihat barangkali ada perahu yang datang membawa laki-laki yang meminjam uangnya. Tiba-tiba ia menemukan sebongkah kayu, kayu yang berisi uangnya. Ia mengambil kayu tersebut dengan niatan ingin dijadikannya sebagai kayu bakar untuk keluarganya. Namun ketika membelahnya, ia menemukan uang darinya datang. Ia lantas membayarkan hutangnya sebesar seribu dinar kepadanya seraya berkata,”Demi Allah, aku sudah berusaha maksimal untuk mencari perahu agar dapat memberikan hartamu tepat waktu tapi aku tidak juga mendapatkannya sampai perahu yang membawaku ini.”Laki-laki yang member pinjaman bertanya,”Apakah kau mengirimkan sesuatu kepadaku?’laki-laki yang meminjam menjawab,”Sudah kukatakan, aku baru mendapatkan perahu ini?”.Ia berkata,”Sesungguhnya Allah telah membayarkan hutangmu melalui uang yang telah kau kirimkan dalam sebongkah kayu. Untuk itu, bawalah kembali uang seribu dinar.
Demikian Al-Bukhari meriwayatkannya pada tempatnya secara mu`allaq dengan shighah jazm, dan di beberapa tempat dalam kitab shahihnya ia menyandarkannya dari dari Abdullah bin Shalih, sekretaris Al-Laits, dari Al-Laits. Imam Ahmad meriwayatkannya dalam musnadnya juga demikian dengan kisah yang panjang, dari Yunus bin Muhammad Al-Mu`addib, dari Al-Laits, Al-Bazzar meriwayatkannya dalam musnadnya, dari Al-Hasan bin Mudrik,dari Yahya bin Hammad, dari Abu `Awanah, dari Umar bin Abi Salamah, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, dari Nabi dengan redaksi senada. Ia kemudian berkata, Tidak diriwayatkan dari Nabi kecuali dari jalur ini dengan sanad ini. Begitu katanya, dan ia keliru sebagaimana yang telah disebutkan tadi.
Abdurrazzaq mengatakan: Ma`mar mengkabarkan kepada kami, dari Abu Ishaq Al-Hamadani, dari Abu Sha`sha`ah bin Yazid bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Ibnu Abbas,”Dalam peperangan kami mendapatkan ayam dan kambing dari harta Ahli Dzimmah.”Ibnu Abbas berkata, “Lalu apa pendapat kalian?”Ia menjawab,”Tidak apa-apa bagi kami (untuk memakannya).”Maka Ibnu Abbas berkata,”Ini sama seperti yang dikatakan oleh Ahli Kitab ,”Tidak apa dosa bagi kami terhadap orang-orang ummi”.Sesungguhnya apabila mereka sudah membayar jizyah maka harta mereka tidak halalbagi kalian kecuali bila mereka memang merelakannya.”Ats-Tsauri juga meriwayatkan hal senada dari Ibnu Ishaq.[5]

 


BAB III

PENUTUP


A.    Kesimpulan

Dalam tradisi islam, wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendakinya. Dalam melakukan transaksi penitipan harta, hendaknya melakukan ketetapan jenis penitipan. Memilih orang yang dapat dipercaya saat penitipan hingga orang tersebut dapat lebih amanah atau melakukan perjanjian yang disepakati yang mewajibkan bagi keduanya unuk saling bertakwa dengan jalan tidak saling merugikan

B.     Saran

Penulis menyadari dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat berharap kepada pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang membangun agar penulis bisa lebih baik lagi dalam pembuatan makalah.













DAFTAR PUSTAKA


Suhendi,Hendi. 2010. Fiqih Muamalah. Jakarta: PT. Raja Grafindo             Persada.
RI,Departemen Agama.1995. Al-Quran dan Terjemahnya, Semarang: PT  Karya Toha Putra.
Al-Mahally, Imam Jalalud-din.1990. Terjemah Tafsir Jalalain Berikut Asbabun Nuzul, Bandung, Sinar Baru
Tim Syaamil Al-Qur’a.2010. Terjemah Tafsir Perkat, Bandung, Sygma Publishing.
Ismail, Abul Fida’ imaduddin. 2015. Tafsir Ibnu Katsir, Solo, Insan Kamil.




[1] Suhendi Hendi, Fiqih Muamalah, Jakarta, PT. RAJA GRAFINDO PERSADA, Cet ke-VI, 2010, h.179
[2] Imam Jalalud-din Al-Mahally, Terjemah Tafsir Jalalain Berikut Asbabun Nuzul, Bandung, Sinar Baru, h. 247-248
[3] Tim Syaamil Al-Qur’an, Terjemah Tafsir Perkat, Bandung, SYGMA PUBLISHING,2010, h.59
[4] Ibid h.59                                                                                                 
[5] Ismail, Abul Fida’ ‘imaduddin, Tafsir Ibnu Katsir, Solo, Insan Kamil, 2015, h. 679-681

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH HADIST ANJURAN UNTUK BEKERJA

Tokoh-Tokoh Tasawuf

FILSAFAT ILMU: AKSIOLOGI ILMU