PRAKTIKUM IBADAH: SHALAT BAGI ORANG YANG SAKIT

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar belakang

Hidup tidak selamanya mulus seperti apa yang direncanakan, kondisi seseorang bisa saja berubah seiring perubahan zaman. Tidak jarang karena suatu kondisi yang memaksa, seseorang tidak bisa mendirikan shalat seperti yang diinginkan. Mungkin diantara sekian banyak syarat shalat, ada satu atau dua dari syarat atau rukun shalat yang tidak dapat ditunaikan.
Diantara saat-saat yang menyulitkan seseorang untuk shalat secara sempurna adalah adanya rasa sakit yang parah, sedag dalam perjalanan, dalam keadaan kerepotan yang tidak bisa ditunda, hujan yang amat deras, adanya musibah yang mengancam jiwa seperti gempa bumi, tsunami, angin topan, dan sebagainya. Pada saat-saat seperti itu, seseorang sulit untuk melaksanakan shalat secara sempurna.

B.     Rumusan masalah

1.      Bagaimana cara melaksanakan shalat bagi orang yang sedang sakit ?
2.      Dasar hukum shalat bagi orang sakit ?
3.      Tata cara shalat untuk orang sakit ?
4.      Bagaimana shalat dalam kendaraan ?

C.    Tujuan masalah

1.      Untuk mengetahui Bagaimana cara melaksanakan shalat bagi orang yang sedang sakit
2.      Untuk mengetahui dasar hukum shalat bagi orang sakit
3.      Untuk mengetahui tata cara shalat untuk orang sakit
4.      Untuk mengetahui bagaimana shalat dalam kendaraan

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Shalat bagi orang sakit

Sakit adalah bagian dari kehidupan manusia. Ada sakit ringan seperti flu, batuk, dan sebagainya. Akan tetapi ada juga penyakit berat sepert kanker, gagal ginjal, tumor dan sebagainya.
Shalat seseorang yang sedang sakit disesuaikan dengan kondisi sakitnya. Apabila ia menderita pernyakit ringan seperti batuk dan flu maka ia tetap wajib melaksnakan shalat secara sempurna. Akan tetapi, apabila sakitnya parah sehingga ia tidak mampu melaksanakan shalat denga menyempurnakan syarat dan rukunnya maka ia mendapatkan beberapa rukhshah (keringanan).
Suatu saat Imran bin husein menagdukan penyakit wasirnya kepada rasulullah saw. Ia berkata “ aku menderita wasir. Lalu aku bertanya ( tentang shalat ) kepada rasulullah saw. Beliau menjawab ‘ shalatlah dengan berdiri, jika kamu tidak mampu, maka dengan duduk dan jika kamu tidak mampu maka dengan tidur miring’” (H.R Bukhari)
Kondisi orang yang sedang sakit berbed-beda. Ada orang yang sakit sehingga tidak bisa berdiri, ada orang yang sakit sehingga tidak bisa duduk, ada pula orang yang sakit sehingga tidak boleh tersentuh air, da nada orang yang sakit sehingga ia selalu terkena najis. Insyallah masing-masoing akan dijelaskan.
1.      Orang yang sakit sehingg tidak boleh terkena air
Apabila ada orang yang sakit sehingga tidak boleh terkena air ia disamakan dengan orang yang terhalang mendaoatkan air. Wudhu dan mandi wajib bagi orang yang tidak boleh terkena air adakah dengan tayamum.
Allah swt berfirman “hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecyali sekedar berlalu, hingga kamu madi. Jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (suci); sapulah tanganmu dan mukamu, sesungguhnya allah maha pemaaf lagi maha pengampun.” ( Q.S. An-Nisa’ [4]: 43)
2.      Orang yang sakit senantiasa terkena najis dan hadas
Kadangkala karena sakit, seseorang tidak bisa terkena najis. Misalnya, dia dipasangi keteter di saluran kencing. Ia akan terkena najis terus. Atau orang yang sedang terluka sehingga darahnya mengalir terus. Bagaimana cara shalat orang yang demikia tersebut ? bukankah salah satu syarat shalat adalah suci dari najis dan hadas ?
Allah swt tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya. Dalam keadaan demikian maka najisnya dimaafkan. Sebab para sahabat rasul ketika selesai berperang sebagian dari mereka terluka bagian tubuhnya mengalirkan darah dan mereka tetap shalat seperti biasa.
Selain itu, diriwayatkan dari seorang wanita yang istihadhah keluar darah terus, dan bukan darah haid. Nabi saw menyuruh membalut darah yang keluar dan menjalankan shalat seperti biasa.
Begitu pula orang yang senantiasa berhadats. Sesorang yang tidak bisa menahan kencing dan ia banyak sekai kencing, dia tetap diperintahkan untuk shalat. Caranya adalah, ketika masuk waktu segera bersuci dan melaksanakan shalat. Penyakit sperti ini bisa doderita leh orang yang lanjut usia atau orang yang pernah menderita prostat.
Apabila ada orang yang selalu kentut sehingga ia tidak bisa shalat karena kentut, ia pun tetap diperintahkan untuk shalat. Meskipun kentut membatalkan wudhu dan shalat, tetapi karena udzur tidak menjadi masalah. Sebab orang tersebut dalam keterpaksaan dan tidak mungkin baginya sempurna sebagaiamana orang yang dalam keadaan sehat.
3.      Orang yang sakit sehingga tidak bisa berdiri
Telah dikemukakan didepan hadits yang diriwayatkan Imron bin Hushain bahwa orang yang shalat boleh dengan duduk jika ia tidak bisa berdiri. Jika ia tidak bisa duduk maka ia boleh shalat dengan tidur berbaring miring. Lalu bagaiamana jika tidak bisa berbaring miring? Tentunya jika tidak bisa berbaring miring masih bisa berbaring telentang.
Adapun cara orang shalat dengan duduk, ia bisa melakukannya dengan duduk iftirasy  sebagai pengganti berdiri. Jika dengan duduk iftisary  tidak bisa, bisa dengan duduk bersila. Jika dengan duduk bersila juga tidak bisa ia bisa duduk dan kaki dijulurkan ke depan. Misalnya, seseorang yang kedua kakinya tidak memiliki lutut atau karena kecelakaan tidak bisa ditekuk, ia bisa shalat dengan kaki dijulurkan kedepan.
Lalu bagaiamana dengan rukuknya? Rukuknya dilakukan dengan membungkukkan badan. Adapun sujud dilakukan dengan sujud seperti biasa jika ia mampu, namun jika tidak mampu ia bileh sujud dengan membungkukkan badan denga posisi yang lebih rendah daripada rukuk.
Begitupula jika orang dalam keadaan sakit dan tidak bisa shalat dengan duduk, ia boleh shalat dengan berbaring miring dan jika ia tidak mampu shalat dengan berbaring miring maka bisa dengan berbaring telentang. Adapun pengganti rukuk dan sujudnya adakah dengan menundyukkan wajahnya jika mampu. Jika menundukkan wajahnya ia tidak mampu bisa diganti dengan isyarat, yaotu dengan memejamkan mata. Apabila I’tidal mata dibuka, apabila sujud mata terpejam, dan apabila duduk mata terbuka lagi. Ketika melakukan dengan isyarat, niatkan bahwa isyarat tersebut sebagai pengganti rukuk dan sujudnya.
4.      Shalat orang yang koma
Kadangkala karena penyakit parah atau karena pengaruh obat bius, orang tidak sadar dalam waktu yang lama sehingga meninggalkan shalat. Lalu bagaimana shalatnya, apakah wajib mengqadha ataukah tidak? Abdullah bin abdul aziz bin baz didalam kitab fatawa an nabi fi ash shalah menjawab pertanyaan tersebut, beliau berkata “jika orang tersebut tidak sadar dalam waktu yang lama, seperti tiga hari atau kurang dari itu maka wajib mengqadha shalatnya karena tidak sadar (baik karean koma ataupun yang lain) dalam waktu tersebut, seperti orang yang tidur dan tidak ada yang menghalanginya untuk mengqadha shalat. Diriwayatkan dari jama’ah para sahabat bahwa sebagian dari mereka ada yang sakit hingga tidak sadar untuk waktu kurang dari tiga hari dan mereka mengqadha shalatnya
Apabila orang tersebut tidak sadar dalam waktu yang lama, lebih dari tiga hari maka ia tidak wajib mengqadha shalatnya. Hal ini didasarkan pada sabda rasulullah “pena diangkat dari tiga golongan, dari orang yang tidur sampai ia bangun, dari anak-anak sampai ia baligh, dan dari orang gila sampai ia sadar.” (H.R. Bahaqi)
Orang yang koma lebih dari tiga hari disamakan dengan orang gila karena kehilangan seluruh kesadarannya dan ia tridak wajib mengqadha shalatnya. Demikianlah pendapat Abdullah bin abdul bin baz.
Adapun untuk orang yang sakitnya parah sekali sehingga jika shalat sesuai dengan waktunya merasa kesulitan, ia boleh menjamak shalatnya, tetapi tidak boleh mengqasharnya. Dr. shalih bin fauzan dalam mulakhkhasah al-fiqhi berkata, “dibiolehkn menjamak dianatar shalat zuhur dan ashar atau shalay maghrib dan isya’ bagi orang yang sakit apabila ia merasa berat jika tidak menjamak shalat tersebut.”
Didalam kitab fatawa, syaikhul islam, ibnu taimayah berkata, “bahwanya jama’ disyari’atkan untuk menghilangkan kseulitan umat. Apabila umat membutuhkan jama’ mereka (diperbolehkan) menjama’. Berbagai hadits menunjukan bahwa Nabi saw menjamak dalam satu waktu untuk melepaskan shalatnya jika ia tidak menjamak. Maka dibolehkan menjamak apabila tidak menjamak bisa menimbulkan kesulitan. Allah telah menghilangkan kesulitan dari umat islam. Ini dibolehkannya menjamak bagi orang yang sakit, yang akan kesulitan jika ia melaksanakan shalat secara terpisah.
Adapun mengqashar, tidak didapatkan dalil dibolehkannya kecuali bagi orang yang menempuh perjalanan sejauh dua marhalah atau lebih. Dua marhalah asdalah perjalanan sehari semalam atau dua hari tanpa malamny. Para ulama memperkirakan dua marhalam yaitu 85 km.” (lihat syarah At-tahdzib)

B.     Dasar hukum shalat bagi orang yang sedang sakit

Ketetapan shalat bagi orang sakit terdapat dalam Al-qur’an, Sunnah, dan Ijma’
1.      Dari Al-qur’an
a)      Allah subhanahu wata’ala berfirman,
“(yaitu) orang-orang yang mengingat allah sambuil berdiri, atau duduk, atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “ Ya tuhan kami, tiadalah engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Mahasuci engkau, maka peliharalah lami dari siksa neraka.” (ali imron: 191)
Ayat yang mulia ini menjelaskan keadaan orang yang sakit dalam melaksanakan shalat sesuai dengan kemampuannya. Shalat dapat dilakukan dengan berdiri jika mampu, jika ia tidak mampu berdiri, maka shalat dapat dilakukan dengan duduk atau  berbaring.
Disebutkan dalam kitab Al-Bada’I, bahwa maksud dzikir yang diperintahkan ayat diatas adalah shalat. Artinya “shalatlah kalian”. Ayat ini turun sebagai rukhsakh bagi orang yang sakit untuk shalat dengan berdiri jika mampu, jika tidak maka shalat dapat dilakukan dengan duduk atau berbaring.[1]



b)      Allah subhanahu wata’ala berfirman:
“ allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya…” (al-baqarah:286)
Ayat ini menjelaskan bahwa manusia dibebani sesuai dengan kemampuannya, diantaranya adalah shalat bagi orang yang sakit. Dia dis syariatkan untuk menghindari masyaqqah (kesulitan yang sangat) dari orang yang sakit pada saat shalat dengan berdiri[2]
2.      Dari sunnah nabi
a)      Dari Imran bin husaoin radhiyallahuan’hu berkata, “saya mempunya penyakit wasir, lalu saya bertanya kepada rasulullah tentang shalat belia menjawab:
“shalatlah dengan berdiri, jika tidak mampu shalatlah dengan duduk, jika tidak mampu juga maka berbaringlah.”[3]
Hadits ini menunjukan dengan  jelas akan rukhsakh shalat bagi orang yang sakit. Dia dapat shalat dengan berdiri, jika tidak mampu melakukannya dengan duduk, dan jika tidak mampu juga dengan berbaring.
b)      Dari anas bin malik radhiyallahu an’hu berkata, “Nabi saw terjatuh dari kudanya dan betisnya yang sebelah kanan terluka. Kami pun masuk menjenguk beliau, lalu datanglah waktu shalat. Beliau pun shalat bersama kami dengan duduk dan kami pun shalat dengan duduk pula. Stelah selesai shalat beliau bersabda, “Imam diangkat untuk diikuti, jika ia bertakbir maka kalian bertakbir pula, jika imam sujud maka bersujudlah, jika imam bangkit maka bangkitlah, jika imam mengatakan “ sami’allah hu liman hamidah “ maka katakanlah “ rabban wa lakal hamdu “. Jika imam shalat dengan duduk maka shalatlah kalian dengan duduk juga.”[4]
Hadits ini menjelaskan kepada kita bahwa nabi saw ketika betis yang sebelah kanannya terluka, beliau shalat dengan duduk. Secara zhahir, bukan berarti bahwa beliau tidak dapat berdiri sama sekali, tetapi karena berdiri sulit bagi beliau maka kewajiban berdiri hilang dari beliau. Begitu juga kewajiban itu hilang bagi orang lain.[5]
3.      Dari Ijma’
Para ulam telah ber-ijma’ bahwa orang yang sakit masuk dalam panggilan ayat shalat, dan hilang darinya kewajiban melaksanakan shalat dengan berdiri jika ia tidak mampu, maka hednaknya ia shalat dengan duduk. Juga hilang darinya kewajiban ruku’ dan sujud jika dia tidak mampu melakukan  keduanya, atau salah satu dari keduanya dan menggantikannya dengan isyarat.[6]

C.    Tata cara shalat bagi orang yang sakit

Para ulama sepakat bahwa orang sakit berbeda dengan orang yang sehat dalam apa yang tidak mampu dilakukan. Sedangkan dalam hal yang mampu dilakukan, maka tidak ada perbedaan diantara keduanya. Tetapi terkadang para ulama berbeda pendapat tentang prinsip ini, yang muncul dalam kondisi shalat bagi orang yang sakit. Inilah pernjelasannya
1.      Jika orang yang sakit mampu untuk beridi, maka ia shalat dengan berdiri
Jika tidak mampu berdiri, mak dia shalat dengan duduk. Jika mampu melakukan ruku’ dan sujud, maka dia harus melakukannya, tetapi jika dia tidak mampu boleh melakukannya dengan isyarat, dengan ketentuan bahwa isyarat untu sujud harus lebih rendah untuk isyarat ruku’
Standar ketidakmampuan untuk para fuqaha adalah jika dia berdiri, atau ruku’, atau sujud, akan menimbulkan rasa sakit. Atau menambah rasa sakit, atau membuat sakitnya lama sembuh, atau terlambat sembuhnya. Atau jika dia berdiri, dia akan terjatuh , atau menimbulkan sakit. Pada keadaan-keadaan diatas dibolehkan untuk shalat dengang duduk atau duduk sesuai dengan kebutuhan.[7]
Disebutkan dalam kitab Al-majmu’, “tidak disyaratkan  dalam ketidakmampuan  itu bahwa benar-benar tdiak bisa berdiri. Tetapi cukup hanya dengan  kesulitan yang paling  rendah, bahkan cukup dengan kesulitan  yang zahir saja, jika ditakutkan akan terjadi kesulitan yang lebih besar, atau menambah rasa sakit, yang lainnya. Atau seseorang yang naik kapal laut merasa takut tenggelam, atai kepalanya pusing, maka dalam kondisi seperti itu, hendaknya ia shalat dengan duduk dan tidak perlu mengulang lagi. “ Imam Al-Haramain berkata,”pendapoat saya mengenai ketidakmampuan adalah dengan jika berdiri akan menimbulkan kesulitan, menghilangkan sifat khusu’ dalam shalatnya, karena khusu’ adalah tujuan shalat.”[8]
Disebutkan dalam kitab Al-Inahf, “ jika sahabat dalam keadaan berdiri akan menimbulkan bahaya, atau menambah rasa sakit, atau sembuhnya menjadi terlambat, atau yang lainnya, maka hendaknya ia shalat dengan duduk, menurut pendapat yang benar dalam madzab(Hanbali-Edt)[9]
Bagi orang sakit diperbolehkan shalat dengan duduk sebagaiamanapun yang dia mampu. Baik dengan bersimpuh ( dengan kedua akaki dibawah paha ) meletakkan kedua tangannya di atas lutunya, atau duduk seperti tasyahud. Dan dianjurkan untuk duduk dengan seperti itu sebagi penganti berdiri, lalu mengubah duduknyapada saat tasyahud dan duduk diantara dua sujud. [10]Keadaan inilah yang telah disepakati oleh para ulama tentang tatacara duduk secara umum[11]
2.      Jika orang yang sakit tidak mampu untuk berdiir sendiri
Tetapi ia mampu berdiri dengan bersandar di dinding, atau tongkat, atau yang lainnya,  maka ia harus berdiri dengan bersandar, karena pada kondisi seperti ini dia dianggap mampu untuk berdiri. Pada keadaan mampu, tidak gugur darinya kewajiban untuk berdiri. Pada keadaan mampu, tidak gugur darinya kewajiban untuk berdiri, karena berdiir adalah satu rukun shalat, yang tidak sah shalat kecuali dengannya, ini adalah pendapat pengikut mahzab Hanafi, Syafi;I dan Hanbali.[12]
Pengikut mahzab Maliki berpendapat bahwa boleh baginya untuk duduk, tetapi yang afdhol adalah berdiri, karena kondisi seperti ini  dianggap bahwa dia mempunyai udzur ( alasan ) untuk tidak berdiri.[13]
3.      Jika orang yang sakit tidak mmapu berdiri dengan tegak
Seperti orang yang sakit tulang punggungnya, atau karena factor usia yang sudah tua, atau karena yang lainnya, sehigga ia seperti yang lainnya, sehingga ia seperti orang yang sedang ruku’. Dalam kondisi seperti ini, dia harus  berdiri sesuai dengan kemampuannya, jika akan ruku’ dia harus membungkukkan sesua dengan kemampuannya.[14]
Ibnu abiding berpendapat’ “ jika tidak mampu berdiri denagn lurus, para ulama berpendapat bahwa dia dapat berdiri dengan  bersandar, karena dia tidak mampu melakukan kecuali seperti itu, begitu juga dia tidak mampu duduk secara lurus, mereka berpendapat bahwa dia dapat duduk dengan bersandar, karena dia tidak mampu melakukan kecuali seperti itu.[15]
Al-Mardawi berkata, “ jika dia mmapu berdiri seperti orang yang sedang rukuk karena sakit, atau karean tua, atau karean penyakit, atau Karena yang lainnya, maka dia harus melakukannya seperti itu, sesua dengan kemampuannya.[16]

D.    Shalat dalam kendaraan

Orang yang diatas kendaraan yang tidak dapat berhenti, kecuali setelah sampai di tempat tujuan, seperti orang yang naik dkereta api, kapal laut dan kapal terbang, maka boleh shalat diatas kendaraanwalaupun dalam situasi normal, sebagaimana pernah dialami rosulullah SAW. Diwaktu dalam suatu perjalanan tertimpa hujan, lalu menyuruh anggota rombongannya supaya shalat sendiri-sendiri didalam (diatas) kendaraannya masing-masing.
Dalam hadits dinyatakan, dari ibnu umar RA. Ia berkata: nabi SAW. Ditanya oleh sahabatnya: “Bagaimana saya shalat dalam kendaraan? Nabi SAW bersabda: shalatlah didalamnya dengan berdiri, kecuali jika engkau takut karam”. (H.R. Daru Qutni dan Al hakim)
Hadits diterima dari Abdullah bin Utbah, ia berkata: “Saya menyertai jabir bin Abdullah, abu saud alkhudri dan abu Hurairah RA. Dalam sebuah kapal. Mereka shalat sambil berdiri dengan berjamaah dengan diimami oleh salah seorang diantaran mereka padahal mereka sanggup untuk mencapai pantai”



[1] Al-Kasani (w.587), Bada’I Ash-Shana’I, ( Beirut: Dar Al-kutub Al-arabi 1982 M ) cet ke-2, juz 1,hlm. 106.
[2] Ibnu Qudamah Al-maqdisi, w. 620 H, Al-mughni, ( Riyadh: Maktabah A-Riyadh Al- Hadits ), juz.2, hlm. 144
[3] HR. Al-Bukhori, shahih Al-Bukhori, juz.2, hlm. 60.
[4] HR. Al-Bukhori dan Muslim ( shahih Al-bukhori, , juz.1, hlm. 59. Shahih Muslim Bisyarhi An-nawawi, juz.4, hlm. 131. )
[5] Lihat: Bayan Masyru’iyyati Shalat Al-Maridh dalam kitab Imam Abi Bakar bin Hasan Al-kasyawi, Ashal Al-Madarik, Syarh Irsyad As-salik fi Fiqh Imam Malik, hlm. 230, ( Beirut: Dar Al-Fikr ) cet ke-2, juz. 1.
[6] Ibnu Rusyd, (w. 595 H), Bidayatu Al-Mujtahid, ( Beirut Dar Al-Ma’arifah, 1978 M ) cet. Ke-4, juz.1, hlm. 178.
[7] Ibnu Abidin, (w. 1252 H) raddu Al-mukhtar ‘ala A-Raddu Al-Mukhtar, ( Beirut: Dar Al-fikr 1979 M ), cet ke-2, juz.2, hlm. 95-96,. Ibnu Jizzi, (w. 741 H) Al-Qawanin Al-Fiqhiyah, (Makkah: Abbas Ahmad Al-Bazz), hlm. 43. Ad-Dardi, (w. 1201 H), Asy-Syarh Ash-Shagir, dengan kitab Hasyiah Ash-SDyari, , (Mesir: Dar Al-Ma’arif), juz.1, hlm. 385. Al-Wansyarisi, (w. 914 H), Al-Mi’yar, ( Maroko: Wuzaratu Al-Auqaf) juz.1, hlm 138/ Ibnu Syihab Ar-ramli, (w. 1004 H), Nihayatul Al-Muhtaj, (Beirut:  Dar IhyaAt-Taurus Al-A’rabi), juz.1, hlm. 449.
[8] Al-Majmu’, Imam An-nawawi, w. 676. Dengan kitab Fathu Al-a’ziz syarh Al-wajiz, Ar-rafi’, w. 623 H, dengan kitab: Ibnu Hajar Al-Asqalani. (w. 852 H), Talkhis Al-Habir fi Takhrij Ar-Rafi’I Al-Kabir, juz, 3. Hlm.92, Dar Al-Fikr
[9] Alauddin Al_mardawai, (w. 885 H), Al-insyaf fi Ma’rifati Ar-rajih min Al-Khilaf”ala Mahzab Imam bin Hanbal, Tahqiq: Muhammad Hamid, (Beirut: Dar Ihya At-Taurus Al-arabi 1980 M), juz.2, hlm. 35, lihat juga: Kasynawi, Al-Madarik, juz,1. Hlm, 230.
[10] Lihat: Al-kasani, Al-bada’i, juz.1, hlm. 106. Imam Malik, (w.179 H), Al-Mudawwanah, dengan kitab Ibnu Rusyid, Muqaddimat, (Beirut: Dar Al-fikr 1978 M), juz, 1. Hlm. 79-80., An-nawawi, Al-majmu’, juz, 4. Hlm. 309. Al-Mardawi, Al-Inshaf, juz. 2, hlm. 6.
[11] Hasyiah ibnu Abidin, juz. 2, hlm. 97, Asy-Syarbini, w. 977 H Mughni Al-Muhtaj, (Beirut: Dar Ihya At-Taurats), juz, 1, hlm. 154, dan Ibnu Qudamah, Al-Mughni, juz. 2, hlm. 144,
[12] Hasyiah Ibnu Abidin, juz. 2, hlm. 97, Asy-Syarbini, w, 977 H, Mughni Al-Muhtaj, (Beirut: Dar Ihya At-Taurats), juz, 1. Hlm. 154, dan Ibnu Qudamah, Al-Mughni, juz.2, hlm. 144,
[13] Ad-Dardi, Asy-Syarh Ash-Shaghir, juz. 1, hlm. 360.
[14] An-Nawawi, Al-Majmu’, juz, 4. Hlm. 313.
[15] Hasyisyah Ibnu abidinI, ,juz. 2, hlm. 97.
[16] Al-Mardawi Al-insyaf,  juz, 2. Hlm. 305.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH HADIST ANJURAN UNTUK BEKERJA

Tokoh-Tokoh Tasawuf

FILSAFAT ILMU: AKSIOLOGI ILMU