PRAKTIKUM IBADAH: SHALAT BAGI ORANG YANG SAKIT
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Hidup tidak selamanya mulus seperti apa yang
direncanakan, kondisi seseorang bisa saja berubah seiring perubahan zaman.
Tidak jarang karena suatu kondisi yang memaksa, seseorang tidak bisa mendirikan
shalat seperti yang diinginkan. Mungkin diantara sekian banyak syarat shalat,
ada satu atau dua dari syarat atau rukun shalat yang tidak dapat ditunaikan.
Diantara saat-saat yang menyulitkan seseorang untuk
shalat secara sempurna adalah adanya rasa sakit yang parah, sedag dalam
perjalanan, dalam keadaan kerepotan yang tidak bisa ditunda, hujan yang amat
deras, adanya musibah yang mengancam jiwa seperti gempa bumi, tsunami, angin
topan, dan sebagainya. Pada saat-saat seperti itu, seseorang sulit untuk
melaksanakan shalat secara sempurna.
B.
Rumusan masalah
1. Bagaimana
cara melaksanakan shalat bagi orang yang sedang sakit ?
2. Dasar
hukum shalat bagi orang sakit ?
3. Tata
cara shalat untuk orang sakit ?
4. Bagaimana
shalat dalam kendaraan ?
C.
Tujuan masalah
1. Untuk
mengetahui Bagaimana cara melaksanakan shalat bagi orang yang sedang sakit
2. Untuk
mengetahui dasar hukum shalat bagi orang sakit
3. Untuk
mengetahui tata cara shalat untuk orang sakit
4. Untuk
mengetahui bagaimana shalat dalam kendaraan
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Shalat bagi orang sakit
Sakit
adalah bagian dari kehidupan manusia. Ada sakit ringan seperti flu, batuk, dan
sebagainya. Akan tetapi ada juga penyakit berat sepert kanker, gagal ginjal,
tumor dan sebagainya.
Shalat
seseorang yang sedang sakit disesuaikan dengan kondisi sakitnya. Apabila ia
menderita pernyakit ringan seperti batuk dan flu maka ia tetap wajib
melaksnakan shalat secara sempurna. Akan tetapi, apabila sakitnya parah
sehingga ia tidak mampu melaksanakan shalat denga menyempurnakan syarat dan
rukunnya maka ia mendapatkan beberapa rukhshah
(keringanan).
Suatu
saat Imran bin husein menagdukan penyakit wasirnya kepada rasulullah saw. Ia
berkata “ aku menderita wasir. Lalu aku bertanya ( tentang shalat ) kepada
rasulullah saw. Beliau menjawab ‘ shalatlah dengan berdiri, jika kamu tidak
mampu, maka dengan duduk dan jika kamu tidak mampu maka dengan tidur miring’” (H.R Bukhari)
Kondisi
orang yang sedang sakit berbed-beda. Ada orang yang sakit sehingga tidak bisa
berdiri, ada orang yang sakit sehingga tidak bisa duduk, ada pula orang yang
sakit sehingga tidak boleh tersentuh air, da nada orang yang sakit sehingga ia
selalu terkena najis. Insyallah masing-masoing akan dijelaskan.
1. Orang
yang sakit sehingg tidak boleh terkena air
Apabila
ada orang yang sakit sehingga tidak boleh terkena air ia disamakan dengan orang
yang terhalang mendaoatkan air. Wudhu dan mandi wajib bagi orang yang tidak
boleh terkena air adakah dengan tayamum.
Allah
swt berfirman “hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk sehingga kamu
mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam
keadaan junub, terkecyali sekedar berlalu, hingga kamu madi. Jika kamu sakit
atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air maka bertayamumlah
dengan tanah yang baik (suci); sapulah tanganmu dan mukamu, sesungguhnya allah
maha pemaaf lagi maha pengampun.” ( Q.S. An-Nisa’ [4]: 43)
2. Orang
yang sakit senantiasa terkena najis dan hadas
Kadangkala
karena sakit, seseorang tidak bisa terkena najis. Misalnya, dia dipasangi
keteter di saluran kencing. Ia akan terkena najis terus. Atau orang yang sedang
terluka sehingga darahnya mengalir terus. Bagaimana cara shalat orang yang
demikia tersebut ? bukankah salah satu syarat shalat adalah suci dari najis dan
hadas ?
Allah
swt tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya. Dalam
keadaan demikian maka najisnya dimaafkan. Sebab para sahabat rasul ketika
selesai berperang sebagian dari mereka terluka bagian tubuhnya mengalirkan
darah dan mereka tetap shalat seperti biasa.
Selain
itu, diriwayatkan dari seorang wanita yang istihadhah keluar darah terus, dan
bukan darah haid. Nabi saw menyuruh membalut darah yang keluar dan menjalankan
shalat seperti biasa.
Begitu
pula orang yang senantiasa berhadats. Sesorang yang tidak bisa menahan kencing
dan ia banyak sekai kencing, dia tetap diperintahkan untuk shalat. Caranya
adalah, ketika masuk waktu segera bersuci dan melaksanakan shalat. Penyakit
sperti ini bisa doderita leh orang yang lanjut usia atau orang yang pernah
menderita prostat.
Apabila
ada orang yang selalu kentut sehingga ia tidak bisa shalat karena kentut, ia
pun tetap diperintahkan untuk shalat. Meskipun kentut membatalkan wudhu dan
shalat, tetapi karena udzur tidak menjadi masalah. Sebab orang tersebut dalam
keterpaksaan dan tidak mungkin baginya sempurna sebagaiamana orang yang dalam
keadaan sehat.
3. Orang
yang sakit sehingga tidak bisa berdiri
Telah
dikemukakan didepan hadits yang diriwayatkan Imron bin Hushain bahwa orang yang
shalat boleh dengan duduk jika ia tidak bisa berdiri. Jika ia tidak bisa duduk
maka ia boleh shalat dengan tidur berbaring miring. Lalu bagaiamana jika tidak
bisa berbaring miring? Tentunya jika tidak bisa berbaring miring masih bisa
berbaring telentang.
Adapun
cara orang shalat dengan duduk, ia bisa melakukannya dengan duduk iftirasy sebagai pengganti berdiri. Jika dengan duduk iftisary tidak bisa, bisa dengan duduk bersila. Jika
dengan duduk bersila juga tidak bisa ia bisa duduk dan kaki dijulurkan ke
depan. Misalnya, seseorang yang kedua kakinya tidak memiliki lutut atau karena
kecelakaan tidak bisa ditekuk, ia bisa shalat dengan kaki dijulurkan kedepan.
Lalu
bagaiamana dengan rukuknya? Rukuknya dilakukan dengan membungkukkan badan.
Adapun sujud dilakukan dengan sujud seperti biasa jika ia mampu, namun jika
tidak mampu ia bileh sujud dengan membungkukkan badan denga posisi yang lebih
rendah daripada rukuk.
Begitupula
jika orang dalam keadaan sakit dan tidak bisa shalat dengan duduk, ia boleh
shalat dengan berbaring miring dan jika ia tidak mampu shalat dengan berbaring
miring maka bisa dengan berbaring telentang. Adapun pengganti rukuk dan
sujudnya adakah dengan menundyukkan wajahnya jika mampu. Jika menundukkan
wajahnya ia tidak mampu bisa diganti dengan isyarat, yaotu dengan memejamkan
mata. Apabila I’tidal mata dibuka, apabila sujud mata terpejam, dan apabila
duduk mata terbuka lagi. Ketika melakukan dengan isyarat, niatkan bahwa isyarat
tersebut sebagai pengganti rukuk dan sujudnya.
4. Shalat
orang yang koma
Kadangkala
karena penyakit parah atau karena pengaruh obat bius, orang tidak sadar dalam
waktu yang lama sehingga meninggalkan shalat. Lalu bagaimana shalatnya, apakah
wajib mengqadha ataukah tidak? Abdullah bin abdul aziz bin baz didalam kitab fatawa an nabi fi ash shalah menjawab
pertanyaan tersebut, beliau berkata “jika orang tersebut tidak sadar dalam
waktu yang lama, seperti tiga hari atau kurang dari itu maka wajib mengqadha
shalatnya karena tidak sadar (baik karean koma ataupun yang lain) dalam waktu
tersebut, seperti orang yang tidur dan tidak ada yang menghalanginya untuk
mengqadha shalat. Diriwayatkan dari jama’ah para sahabat bahwa sebagian dari
mereka ada yang sakit hingga tidak sadar untuk waktu kurang dari tiga hari dan
mereka mengqadha shalatnya
Apabila
orang tersebut tidak sadar dalam waktu yang lama, lebih dari tiga hari maka ia
tidak wajib mengqadha shalatnya. Hal ini didasarkan pada sabda rasulullah “pena
diangkat dari tiga golongan, dari orang yang tidur sampai ia bangun, dari
anak-anak sampai ia baligh, dan dari orang gila sampai ia sadar.” (H.R. Bahaqi)
Orang
yang koma lebih dari tiga hari disamakan dengan orang gila karena kehilangan
seluruh kesadarannya dan ia tridak wajib mengqadha shalatnya. Demikianlah
pendapat Abdullah bin abdul bin baz.
Adapun
untuk orang yang sakitnya parah sekali sehingga jika shalat sesuai dengan
waktunya merasa kesulitan, ia boleh menjamak shalatnya, tetapi tidak boleh
mengqasharnya. Dr. shalih bin fauzan dalam mulakhkhasah
al-fiqhi berkata, “dibiolehkn menjamak dianatar shalat zuhur dan ashar atau
shalay maghrib dan isya’ bagi orang yang sakit apabila ia merasa berat jika
tidak menjamak shalat tersebut.”
Didalam
kitab fatawa, syaikhul islam, ibnu
taimayah berkata, “bahwanya jama’ disyari’atkan untuk menghilangkan kseulitan
umat. Apabila umat membutuhkan jama’ mereka (diperbolehkan) menjama’. Berbagai
hadits menunjukan bahwa Nabi saw menjamak dalam satu waktu untuk melepaskan
shalatnya jika ia tidak menjamak. Maka dibolehkan menjamak apabila tidak
menjamak bisa menimbulkan kesulitan. Allah telah menghilangkan kesulitan dari
umat islam. Ini dibolehkannya menjamak bagi orang yang sakit, yang akan
kesulitan jika ia melaksanakan shalat secara terpisah.
Adapun
mengqashar, tidak didapatkan dalil dibolehkannya kecuali bagi orang yang
menempuh perjalanan sejauh dua marhalah atau lebih. Dua marhalah asdalah
perjalanan sehari semalam atau dua hari tanpa malamny. Para ulama memperkirakan
dua marhalam yaitu 85 km.” (lihat syarah
At-tahdzib)
B.
Dasar hukum shalat bagi orang yang sedang sakit
Ketetapan
shalat bagi orang sakit terdapat dalam Al-qur’an, Sunnah, dan Ijma’
1.
Dari
Al-qur’an
a) Allah
subhanahu wata’ala berfirman,
“(yaitu) orang-orang
yang mengingat allah sambuil berdiri, atau duduk, atau dalam keadaan berbaring
dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “ Ya
tuhan kami, tiadalah engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Mahasuci engkau,
maka peliharalah lami dari siksa neraka.” (ali
imron: 191)
Ayat
yang mulia ini menjelaskan keadaan orang yang sakit dalam melaksanakan shalat
sesuai dengan kemampuannya. Shalat dapat dilakukan dengan berdiri jika mampu,
jika ia tidak mampu berdiri, maka shalat dapat dilakukan dengan duduk atau berbaring.
Disebutkan
dalam kitab Al-Bada’I, bahwa maksud dzikir yang diperintahkan ayat diatas
adalah shalat. Artinya “shalatlah kalian”. Ayat ini turun sebagai rukhsakh bagi orang yang sakit untuk
shalat dengan berdiri jika mampu, jika tidak maka shalat dapat dilakukan dengan
duduk atau berbaring.[1]
b) Allah
subhanahu wata’ala berfirman:
“ allah tidak membebani
seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya…” (al-baqarah:286)
Ayat
ini menjelaskan bahwa manusia dibebani sesuai dengan kemampuannya, diantaranya
adalah shalat bagi orang yang sakit. Dia dis syariatkan untuk menghindari masyaqqah (kesulitan yang sangat) dari
orang yang sakit pada saat shalat dengan berdiri[2]
2.
Dari
sunnah nabi
a) Dari
Imran bin husaoin radhiyallahuan’hu berkata,
“saya mempunya penyakit wasir, lalu saya bertanya kepada rasulullah tentang
shalat belia menjawab:
“shalatlah
dengan berdiri, jika tidak mampu shalatlah dengan duduk, jika tidak mampu juga
maka berbaringlah.”[3]
Hadits
ini menunjukan dengan jelas akan rukhsakh shalat bagi orang yang sakit.
Dia dapat shalat dengan berdiri, jika tidak mampu melakukannya dengan duduk,
dan jika tidak mampu juga dengan berbaring.
b) Dari
anas bin malik radhiyallahu an’hu berkata,
“Nabi saw terjatuh dari kudanya dan betisnya yang sebelah kanan terluka. Kami
pun masuk menjenguk beliau, lalu datanglah waktu shalat. Beliau pun shalat
bersama kami dengan duduk dan kami pun shalat dengan duduk pula. Stelah selesai
shalat beliau bersabda, “Imam diangkat
untuk diikuti, jika ia bertakbir maka kalian bertakbir pula, jika imam sujud
maka bersujudlah, jika imam bangkit maka bangkitlah, jika imam mengatakan “
sami’allah hu liman hamidah “ maka katakanlah “ rabban wa lakal hamdu “. Jika
imam shalat dengan duduk maka shalatlah kalian dengan duduk juga.”[4]
Hadits
ini menjelaskan kepada kita bahwa nabi saw ketika betis yang sebelah kanannya
terluka, beliau shalat dengan duduk. Secara zhahir,
bukan berarti bahwa beliau tidak dapat berdiri sama sekali, tetapi karena
berdiri sulit bagi beliau maka kewajiban berdiri hilang dari beliau. Begitu
juga kewajiban itu hilang bagi orang lain.[5]
3.
Dari
Ijma’
Para
ulam telah ber-ijma’ bahwa orang yang sakit masuk dalam panggilan ayat shalat,
dan hilang darinya kewajiban melaksanakan shalat dengan berdiri jika ia tidak
mampu, maka hednaknya ia shalat dengan duduk. Juga hilang darinya kewajiban
ruku’ dan sujud jika dia tidak mampu melakukan
keduanya, atau salah satu dari keduanya dan menggantikannya dengan
isyarat.[6]
C.
Tata cara shalat bagi orang yang sakit
Para ulama sepakat bahwa orang sakit berbeda dengan
orang yang sehat dalam apa yang tidak mampu dilakukan. Sedangkan dalam hal yang
mampu dilakukan, maka tidak ada perbedaan diantara keduanya. Tetapi terkadang
para ulama berbeda pendapat tentang prinsip ini, yang muncul dalam kondisi
shalat bagi orang yang sakit. Inilah pernjelasannya
1. Jika
orang yang sakit mampu untuk beridi, maka ia shalat dengan berdiri
Jika
tidak mampu berdiri, mak dia shalat dengan duduk. Jika mampu melakukan ruku’
dan sujud, maka dia harus melakukannya, tetapi jika dia tidak mampu boleh
melakukannya dengan isyarat, dengan ketentuan bahwa isyarat untu sujud harus
lebih rendah untuk isyarat ruku’
Standar
ketidakmampuan untuk para fuqaha adalah jika dia berdiri, atau ruku’, atau
sujud, akan menimbulkan rasa sakit. Atau menambah rasa sakit, atau membuat
sakitnya lama sembuh, atau terlambat sembuhnya. Atau jika dia berdiri, dia akan
terjatuh , atau menimbulkan sakit. Pada keadaan-keadaan diatas dibolehkan untuk
shalat dengang duduk atau duduk sesuai dengan kebutuhan.[7]
Disebutkan
dalam kitab Al-majmu’, “tidak disyaratkan
dalam ketidakmampuan itu bahwa
benar-benar tdiak bisa berdiri. Tetapi cukup hanya dengan kesulitan yang paling rendah, bahkan cukup dengan kesulitan yang zahir
saja, jika ditakutkan akan terjadi kesulitan yang lebih besar, atau
menambah rasa sakit, yang lainnya. Atau seseorang yang naik kapal laut merasa
takut tenggelam, atai kepalanya pusing, maka dalam kondisi seperti itu,
hendaknya ia shalat dengan duduk dan tidak perlu mengulang lagi. “ Imam
Al-Haramain berkata,”pendapoat saya mengenai ketidakmampuan adalah dengan jika
berdiri akan menimbulkan kesulitan, menghilangkan sifat khusu’ dalam shalatnya,
karena khusu’ adalah tujuan shalat.”[8]
Disebutkan
dalam kitab Al-Inahf, “ jika sahabat dalam keadaan berdiri akan menimbulkan
bahaya, atau menambah rasa sakit, atau sembuhnya menjadi terlambat, atau yang
lainnya, maka hendaknya ia shalat dengan duduk, menurut pendapat yang benar
dalam madzab(Hanbali-Edt)[9]
Bagi
orang sakit diperbolehkan shalat dengan duduk sebagaiamanapun yang dia mampu.
Baik dengan bersimpuh ( dengan kedua akaki dibawah paha ) meletakkan kedua
tangannya di atas lutunya, atau duduk seperti tasyahud. Dan dianjurkan untuk duduk dengan seperti itu sebagi
penganti berdiri, lalu mengubah duduknyapada saat tasyahud dan duduk diantara dua sujud. [10]Keadaan
inilah yang telah disepakati oleh para ulama tentang tatacara duduk secara umum[11]
2. Jika
orang yang sakit tidak mampu untuk berdiir sendiri
Tetapi
ia mampu berdiri dengan bersandar di dinding, atau tongkat, atau yang
lainnya, maka ia harus berdiri dengan
bersandar, karena pada kondisi seperti ini dia dianggap mampu untuk berdiri. Pada
keadaan mampu, tidak gugur darinya kewajiban untuk berdiri. Pada keadaan mampu,
tidak gugur darinya kewajiban untuk berdiri, karena berdiir adalah satu rukun
shalat, yang tidak sah shalat kecuali dengannya, ini adalah pendapat pengikut
mahzab Hanafi, Syafi;I dan Hanbali.[12]
Pengikut
mahzab Maliki berpendapat bahwa boleh baginya untuk duduk, tetapi yang afdhol adalah berdiri, karena kondisi
seperti ini dianggap bahwa dia mempunyai
udzur ( alasan ) untuk tidak berdiri.[13]
3. Jika
orang yang sakit tidak mmapu berdiri dengan tegak
Seperti
orang yang sakit tulang punggungnya, atau karena factor usia yang sudah tua,
atau karena yang lainnya, sehigga ia seperti yang lainnya, sehingga ia seperti
orang yang sedang ruku’. Dalam kondisi seperti ini, dia harus berdiri sesuai dengan kemampuannya, jika akan
ruku’ dia harus membungkukkan sesua dengan kemampuannya.[14]
Ibnu
abiding berpendapat’ “ jika tidak mampu berdiri denagn lurus, para ulama
berpendapat bahwa dia dapat berdiri dengan
bersandar, karena dia tidak mampu melakukan kecuali seperti itu, begitu
juga dia tidak mampu duduk secara lurus, mereka berpendapat bahwa dia dapat
duduk dengan bersandar, karena dia tidak mampu melakukan kecuali seperti itu.[15]
Al-Mardawi
berkata, “ jika dia mmapu berdiri seperti orang yang sedang rukuk karena sakit,
atau karean tua, atau karean penyakit, atau Karena yang lainnya, maka dia harus
melakukannya seperti itu, sesua dengan kemampuannya.[16]
D.
Shalat dalam kendaraan
Orang yang diatas
kendaraan yang tidak dapat berhenti, kecuali setelah sampai di tempat tujuan,
seperti orang yang naik dkereta api, kapal laut dan kapal terbang, maka boleh
shalat diatas kendaraanwalaupun dalam situasi normal, sebagaimana pernah
dialami rosulullah SAW. Diwaktu dalam suatu perjalanan tertimpa hujan, lalu
menyuruh anggota rombongannya supaya shalat sendiri-sendiri didalam (diatas)
kendaraannya masing-masing.
Dalam hadits
dinyatakan, dari ibnu umar RA. Ia berkata: nabi SAW. Ditanya oleh sahabatnya: “Bagaimana saya shalat dalam kendaraan? Nabi
SAW bersabda: shalatlah didalamnya dengan berdiri, kecuali jika engkau takut
karam”. (H.R. Daru Qutni dan Al
hakim)
Hadits diterima dari
Abdullah bin Utbah, ia berkata: “Saya
menyertai jabir bin Abdullah, abu saud alkhudri dan abu Hurairah RA. Dalam
sebuah kapal. Mereka shalat sambil berdiri dengan berjamaah dengan diimami oleh
salah seorang diantaran mereka padahal mereka sanggup untuk mencapai pantai”
[1] Al-Kasani (w.587), Bada’I Ash-Shana’I, ( Beirut: Dar
Al-kutub Al-arabi 1982 M ) cet ke-2, juz 1,hlm. 106.
[2] Ibnu Qudamah Al-maqdisi, w. 620
H, Al-mughni, ( Riyadh: Maktabah
A-Riyadh Al- Hadits ), juz.2, hlm. 144
[4] HR. Al-Bukhori dan Muslim ( shahih Al-bukhori, , juz.1, hlm. 59. Shahih Muslim Bisyarhi An-nawawi, juz.4,
hlm. 131. )
[5] Lihat: Bayan Masyru’iyyati Shalat Al-Maridh dalam kitab Imam Abi Bakar bin
Hasan Al-kasyawi, Ashal Al-Madarik, Syarh
Irsyad As-salik fi Fiqh Imam Malik, hlm. 230, ( Beirut: Dar Al-Fikr ) cet
ke-2, juz. 1.
[6] Ibnu Rusyd, (w. 595 H), Bidayatu Al-Mujtahid, ( Beirut Dar
Al-Ma’arifah, 1978 M ) cet. Ke-4, juz.1, hlm. 178.
[7] Ibnu Abidin, (w. 1252 H) raddu Al-mukhtar ‘ala A-Raddu Al-Mukhtar,
( Beirut: Dar Al-fikr 1979 M ), cet ke-2, juz.2, hlm. 95-96,. Ibnu Jizzi, (w.
741 H) Al-Qawanin Al-Fiqhiyah, (Makkah: Abbas Ahmad
Al-Bazz), hlm. 43. Ad-Dardi, (w. 1201 H), Asy-Syarh
Ash-Shagir, dengan kitab Hasyiah
Ash-SDyari, , (Mesir: Dar Al-Ma’arif), juz.1, hlm. 385. Al-Wansyarisi, (w.
914 H), Al-Mi’yar, ( Maroko: Wuzaratu
Al-Auqaf) juz.1, hlm 138/ Ibnu Syihab Ar-ramli, (w. 1004 H), Nihayatul Al-Muhtaj, (Beirut: Dar IhyaAt-Taurus Al-A’rabi), juz.1, hlm. 449.
[8] Al-Majmu’, Imam An-nawawi, w. 676. Dengan kitab Fathu Al-a’ziz syarh Al-wajiz, Ar-rafi’, w. 623 H, dengan kitab: Ibnu
Hajar Al-Asqalani. (w. 852 H), Talkhis
Al-Habir fi Takhrij Ar-Rafi’I Al-Kabir, juz, 3. Hlm.92, Dar Al-Fikr
[9]
Alauddin Al_mardawai, (w. 885 H), Al-insyaf
fi Ma’rifati Ar-rajih min Al-Khilaf”ala Mahzab Imam bin Hanbal, Tahqiq:
Muhammad Hamid, (Beirut: Dar Ihya At-Taurus Al-arabi 1980 M), juz.2, hlm. 35,
lihat juga: Kasynawi, Al-Madarik, juz,1. Hlm, 230.
[10]
Lihat: Al-kasani, Al-bada’i, juz.1,
hlm. 106. Imam Malik, (w.179 H), Al-Mudawwanah,
dengan kitab Ibnu Rusyid, Muqaddimat,
(Beirut: Dar Al-fikr 1978 M), juz, 1. Hlm. 79-80., An-nawawi, Al-majmu’, juz, 4. Hlm. 309. Al-Mardawi,
Al-Inshaf, juz. 2, hlm. 6.
[11] Hasyiah ibnu Abidin, juz. 2, hlm. 97,
Asy-Syarbini, w. 977 H Mughni Al-Muhtaj,
(Beirut: Dar Ihya At-Taurats), juz, 1, hlm. 154, dan Ibnu Qudamah, Al-Mughni, juz. 2, hlm. 144,
[12] Hasyiah Ibnu Abidin, juz. 2, hlm. 97,
Asy-Syarbini, w, 977 H, Mughni Al-Muhtaj,
(Beirut: Dar Ihya At-Taurats), juz, 1. Hlm. 154, dan Ibnu Qudamah, Al-Mughni,
juz.2, hlm. 144,
[13]
Ad-Dardi, Asy-Syarh Ash-Shaghir, juz.
1, hlm. 360.
[14] An-Nawawi,
Al-Majmu’, juz, 4. Hlm. 313.
[15] Hasyisyah Ibnu abidinI, ,juz. 2, hlm. 97.
[16]
Al-Mardawi Al-insyaf, juz, 2. Hlm. 305.
Komentar
Posting Komentar