FILSAFAT ILMU: AKSIOLOGI ILMU
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Puji syukur senantiasa penulis
panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan segala limpahan rahmat, bimbingan
dan petunjuk serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan penyusunan makalah ini dengan lancar. Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi
tugas mata kuliah filsafat ilmu..
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa
penulisan dan penyusunan makalah ini tidak mungkin terselesaikan dengan baik
tanpa bantuan dan dukungan dari semua pihak.
Akhir kata penulis meminta maaf atas
kesalahan serta kekhilafan dan juga
banyaknya kekurangan penulisan dalam
makalah ini. Penulis berharap semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi semua pihak.
Semoga Allah SWT memberikan petunjuk serta rahmat-Nya kepada kita semua.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Salatiga,17
Oktober 2017
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Aksiologi
merupakan bagian dari filsafat ilmu yang
mempertanyakan bagaimana manusia menggunakan ilmunya. Aksiologi adalah istilah
yang berasal dari bahasa Yunani yaitu axios yang artinya
nilai dan logos artinya teori atau ilmu. Jadi aksiologi adalah teori tentang
nilai dalam berbagai bentuk.
Dalam kamus
Bahasa Indonesia aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan
manusia tentang nilai-nilai khususnya etika.
Pada
bagian ini akan dibahas beberapa hal terkait dengan aksiologi sebagai langkah
awal dalam mempelajari persoalan ini. Beberapa poin yang akan dibahas dalam
konteks ini adalah : pengertian, pendekatan, dan makna nilai dalam kajian
aksiologi.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa
Pengertian Aksiologi ?
2. Apa
Saja Pendekatan dalam Aksiologi ?
3. Apa
Saja Makna dalam Nilai ?
C.
Tujuan Penulisan
1. Untuk
Mengetahui Pengertian Aksiologi.
2. Untuk
Mengetahui Pendekatan Dalam Aksiologi.
3. Untuk
Mengetahui Makna Dalam Nilai.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Aksiologi
Secara
etimologis, aksiologi berasal dari bahasa Yunani Kuno, yaitu “aksios” yang
berarti Nilai dan kata “logos” berarti teori. Jadi,aksiologi merupakan cabang
filsafat yang mempelajari nilai. Dengan kata lain, aksiologi adalah teori
nilai. Suriasumantri (1990:234) mendefinisikan aksiologi sebagai teori nilai
yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang di peroleh. Aksiologi
dalam Kamus Bahasa Indonesia (1995:19) adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi
kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai khususnya etika. Menurut Wibisono
(dalam Surajiyo, 2009:152) aksiologi adalah nilai-nilai sebagai tolak ukur
kebenaran, etika dan moral sebagai dasar normatif penelitian dan penggalian,
serta penerapan ilmu. Dalam Encyclopedia of Philosophy (dalam Amsal, 2009:164)
dijelaskan aksiologi disamakan dengan Value
and valuation.
Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa Aksiologi
merupakan teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang di
peroleh bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai sebagai tolak ukur
kebenaran, etika dan moral sebagai dasar normatif penelitian dan penggalian,
serta penerapan ilmu.
B.
Pendekatan dalam Aksiologi
Ada tiga ciri yang dapat kita kenali terhadap nilai,
yaitu nilai yang berkaitan subjektif, praktis, dan sesuatu yang ditambahkan
pada objek.
Pertama, nilai berkaitan dengan subjek. Artinya, nilai itu berkaitan dengan
kehadiran manusia sebagai subjek. Kalau tidak ada manusia yang memberi nilai,
nilai itu tidak akan pernah ada. Tanpa kehadiran manusia pun, kalau Gunung
Merapi meletus ya tetap meletus. Pasalnya sekarang, ketika Gunung Merapi
meletus misalnya, apakah itu sesuatu yang “indah” ataukah “membahayakan” bagi kehidupan manusia. semuanya itu tetap
memerlukan kehadiran manusia untuk memberikan penilaian. Dalam hal ini
nilai subjektivitas memang bergantung semata-mata pada pengalaman manusia.
Kedua, nilai
dalam konteks praktis. Yaitu, subjek ingin membuat sesuatu seperti lukisan,
gerabah, dan lain-lain.
Ketiga, nilai-nilai merupakan unsur-unsur
obyektif yang menyusun kenyataan.
C.
Makna dalam Nilai
Secara singkat dapat dikatakan,
Perkataan, nilai, kiranya, mempunyai beberapa makna seperti yang ada dalam
contoh-contoh berikut :
a.
Mengandung nilai (
artinya, berguna )
b.
Merupakan Nilai (
artinya, “baik” atau “benar” atau “indah” )
c.
Mempunyai Nilai (
artinya, merupakan obyek keinginan, mempunyai kualitas yang dapat menyebabkan
orang mengambil sikap “menyetujui” atau mempunyai sifat nilai tertentu )
d.
Memberi Nilai (
artinya, menanggapi sesuatu sebagai hal yang diinginkan atau sebagai hal yang
menggambarkan nilai tertentu )
Sesuatu
benda atau perbuatan dapat mempunyai nilai, dan berhubung dengan itu, dapat
dinilai. Hal-hal tersebut dapat mempunyai nilai karena mengandung nilai atau
menggambarkan sesuatu nilai. Suattu pernyataan memiliki nilai kebenaran, dan
karena itu bernilai untuk pemberitahuan. Suatu lukisan memiliki keindahan, dan
berhubung dengan itu, bernilai bagi mereka yang menghargai seni. Seorang
ilmuwan memberi nilai kepada pernyataan-pernyataan yang benar dan pecinta
keindahan memberi nilai-nilai kepada karya seni. Apa yang dikatakan diatas
semuanya menunjukkan cara-cara penggunaan kata “Nilai”.
1.
Nilai merupakan
kualitas empiris yang tidak dapat didefinisikan
a.
Kualitas melukiskan
suatu obyek
Kualitas
ialah sesuatu yang dapat disebutkan dari suatu obyek. Dengan kata lain,
kualitas ialah suatu segi dari barang sesuatu yang merupakan bagian dari barang
tersebut dan dapat membantu melukiskannya. Nama sesuatu kualitas dapat dipakai
sebagai kata sifat. Berhubung dengan itu misalnya dapat dikatakan “pisang itu
kuning”. Suatu kata sifat mengatakan sesuatu mengenai obyek yang memperoleh
penyifatan (kualifikasi). Dalam hal ini dikatakan bahwa suatu obyek mempunyai
sesuatu sifat.
b.
Kualitas-kualitas
empiris
Kualitas
empiris ialah kualitas yang diketahui atau dapat diketahui melalui pengalaman.
Dalam babak terakhir “kuning” merupakan kualitas semacam itu; satu-satunya cara
mengetahui bahwa “pisang itu kuning” ialah melihatnya dengan mata kepala
sendiri. Diandaikan anda tidak mengetahui apa yang dinamakan warna kuning dan
meminta kepada saya untuk mendefinisikannya. Jika saya tunjukkan kepada anda
sesuatu yang berwarna kuning dan jika anda tidak buta warna, maka anda akan
segera tahu apakah kuning itu. Menurut buku yang berjudul principiaEticha, G.E.
Moore mengatakan bahwa “baik” merupakan pengertian-pengertian yang bersahaja,
seperti halnya juga “kuning” merupakan pengertian yang bersahaja.
c.
Pemahaman atas
kualitas-kualitas nilai
Jika nilai merupakan suatu kualitas obyek atau
perbuatan tertentu, maka obyek dan perbuatan tersebut dapat didefinisikan
berdasarkan atas nilai-nilai, tetapi tidak mungkin sebaliknya. Paham yang
mengatakan bahwa nilai merupakan kualitas empiris berarti kita dapat mengalami
dan memahami secara langsung kualitas yang bersangkutan yang terdapat pada
suatu obyek tertentu; atau dapat juga berarti bahwa akal kita secara langsung
mengetahui kualitas tersebut sebagai pengertian semesta. Dengan demikian suatu
obyek yang indah terlihat indah; atau keindahan secara akali langsung dipahami
sebagai kualitas suatu obyek. Suatu perbuatan yang baik, misalnya menolong
orang buta, memiliki kualitas kebaikan yang tampak secara langsung. Kebaikan
perbuatan tersebut tidak dapat dipulangkan kepada rasa nikmat yang dialami
orang yang melakukan maupun oleh orang buta yang memperoleh kebaikan tersebut.
d.
Verifikasi melalui pengalaman
Jika “nilai” merupakan pengertian jenis bagi
kualitas-kualitas empiris yang bercorak tertentu, maka pertanyaan “apakah nilai itu?”
hanya dapat dijawab dengan melakukan penyelidikam
serta pelukisan secara empiris. Dan ditinjau dari sudut pandangan ini, suatu tanggapan penilaian
merupakan tanggapan empiris, dengan segala kesulitan serta kesalahan yang dapat
melekat pada tanggapan-tanggapan empiris. Mengatakan bahwa “A wanita
cantik”atau” B wanita jelek”, “A berwarna kuning” atau “B terasa pahit”.
Begitulah verifikasi terhadap tanggapan-tanggapan penilaian mengambil bentuk
yang sama dengan verifikasi terhadap tanggapan-tanggapan empiris yang
lain,yaitu dengan jalan mengalami kualitas yang bersangkutan.
e.
Tolak ukur kajian terhadap nilai
Kenyataannya bahwa nilai tidak dapat didefinisikan
tidak berarti nilai tidak bias dipahami. Bila saya mengatakan “Kuning tidak
dapat didefinisikan”, maka yang saya maksudkan ialah bahwa warna kuning tidak
dapat dipulangkan kepada suatu hal yang lain, melainkan harus dialami.
2.
Nilai sebagai
Obyek Suatu Kepentingan
a.
Setiap nilai
menyangkut sikap
Bahwasannya sering orang tidak sepakat mengenai
nilai-nilai. Ada pula
yang mengatakan bahwa masalah nilai sesungguhnya merupakan masalah pengutamaan,
dan “de gustibus
non est disputandum”, (mengenai masalah selera orang tidak perlu
mempertentangkannya). Tetapi sama pula benarnya bahwa mengenai banyak nilai
orang dapat memperoleh kesepakatan. Kiranya juga jelas bahwa perasaan dan
keinginan senantiasa berhubungan erat dengan tanggapan-tanggapan penilaian.
b.
Nilai ialah
kepentingan
Menurut
Perry,setiapobyek yang ada dalam kenyataan maupun dalam pikiran, setiap
perbuatan yang dilakukan maupun yang dipikirkan, dapat diperoleh nilai,
jika pada suatu ketika berhubungan dengan
subyek-subyek yang mempunyai kepentingan. Dengan kata lain, jika seseorang
mempunyai kepentingan pada suatu apapun, maka hal tersebut mempunyai nilai.
Menurut Perry :
kesunyian sebuah gurun tidaklah mempunyai nilai sampai
seorang pengelana merasakannya sebagai kesepian serta mengerikan; jeram pun
demikian, sampai daya serap seorang manusia memandangnya indah sekali, atau
sampai orang memanfaatkannya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia.
Sesungguhnya, tidak ada satu hal pun yang dapat disebut tetapi tidak dapat
dilekati nilai tertentu, berdasarkan kenyataan bahwa hal tersebut telah dipilih
untuk mencapai tujuan yang masuk akal oleh suatu pemikiran yang mempunyai
kepentingan. Sejalan dengan bertambahnya serta meluasnya pengaruh kepentingan
berdasarkn pengalaman serta rekaan akal, maka Khazanahnya nilai jagad raya
semakin kaya dan semakin beraneka ragam.
c.
Sejumlah
keberatan yang dapat diajukan
Agaknya ajaran Perry hendak menempatkan segenap nilai
sepenuhnya dalam kedudukan yang ditentukan oleh manusia. Artinya,
bagi orang yang tidak mempunyai kepentingan pada,
katakanlah, kesusilaan,maka etika tidak bernilai bagi mereka yang tidak mempunyai
kepentingan pada keadilan, maka keadilan juga tidak bernilai, dan begitu pula halnya dengan
pernyataan-pernyataan yang benar. Tetapi dalam kenyataannya orang merasa bahwa
kebenaran, kebaikan, dan keadilan mempunyai nilai, atau bernilai, tanpa
mengingat ada atau tidaknya kepentingan seseorang terhadap hal-hal tersebut.
3.
Teori Pragmatis
mengenai Nilai
Sejumlah hal yang telah diperbincangkan yang bersifat
penolakan terhadap teori nilai yang didasarkan atas kepentingan kiranya
menyebabkan tampilnya teori lain,yaitu teori pragmatis. Teori pragmatis
mendasarkan diri atas akibat-akibat, dan begitu pula halnya dengan teori
pragmatis mengenai nilai.
a.
Nilai sebagai
hasil pemberian nilai
Menurut Dewey, meskipun kebaikan kiranya bersangkutan dengan
akibat-akibat, namun kebaikan itu tidak sekadar bersangkutan dengan
hasil-hasiljangka pendek dari satu keinginan yang dangkal. Meskipun
sebuah pensil bernilai dalam arti berguna untuk
mengerjakan teka-teki,namun kiranya orang tidak akan mengatakan bahwa karena
itu pensil tersebut bernilai. Kepentingan yang tersangkut harus cukup besar dan
bersifat tetap. Sesungguhnya bukan kepentingan itulah yang menyebabkan suatu
obyek bernilai. Suatu kualitas yang terdapat disekitar obyek itulah yang
menyebabkan orang menanggapinya sebagai
suatu nilai. Menurut Dewey disinilah letak inti pokok masalahnya. Nilai
bukanlah sesuatu yang dicari untuk ditemukan; ”nilai” bukanlah suatu kata benda atau bahkan juga bukan kata
sifat. Masalah nilai sesungguhnya berpusat disekitar perbuatan pemberi nilai.
b.
Hubungan
sarana-tujuan
Dalam Theory of valuation,
Dewey mengatakan bahwa pemberian nilai menyangkut
perasaan, keinginan, dan sebagainya; pemberian nilai tersebut juga menyangkut
tindakan akal untuk menghubungkan sarana dengan tujuan. Seluruh keadaan harus
diperiksa ulang dan harus diramalkan kemungkinan-kemungkinan yang dapat
terjadi, sebelum orang dapat menetapkan nilai pada barang sesuatu atau
perbuatan tertentu.
Menurut Dewey masalah yang sebenarnya ialah pemberian
nilai secara tepat, dan yang demikian ini bersangkutan dengan campur tangan
akal secara aktif atau tanggapan-tanggapan yang didasarkan fakta serta
tujuan-tujuan yang terbayang. Perlu ditekankan disini kita bersangkutan dengan
perbuatan, dengan pemberian nilai, dan bukan dengan suatu barang atau suatu
sifat. Dengan kata lain, pemberian nilai berarti berkenaan dengan bahan-bahan
faktual yang
sudah tersedia,dan berdasarkan atas bahan-bahan tersebut perbuatan-perbuatan
serta obyek-obyek dapat dihubungkan dengan tujuan-tujuan yang terbayang.
c.
Sarana dan
tujuan tidak terpisahkan
Dewey memperingatkan agar orang tidak hanya
mempertimbangkan tujuan sebagai pembenaran bagi setiap macam sarana yang
digunakan, karena
sarana itu sendiri dapat menimbulkan akibat-akibat yang berbeda sama sekali
dengan apa yang dikehendaki.
d.
Nilai-nilai yang
diciptakan oleh situasi kehidupan
Pemberian nilai, seperti halnya semua proses akali,
bermula hanya apabila orang menghadapi sesuatu masalah; artinya, bermula pada suatu keadaan yang didalamnya
terdapat ketegangan dan tiadanya ketertiban. Jika seseorang pada suatu waktu
tertentu memberikan tanggapan atau melakukan penilaian,maka ia melakukannya
dalam rangka memulihkan ketertiban serta menghilangkan ketegangan. Maka
penilaian yang dilakukannya bersifat dinamis serta relatif terhadap situasi yang konkret; penilaian tersebut dapat berubah sejalan dengan
perubahan kondisi.
Menurut Dewey setiap situasi menciptakan nilai-nilai.
Berhubung dengan itu sesungguhnya tidak ada nilai-nilai yang abadi, yang ada
hanyalah nilai abadi, yang ada hanyalah nilai-nilai yang berubah-ubah, yang
tergantung pada keadaan. Selama hasil penilaian dapat memajukan tujuan-tujuan
bersama,
maka selama itu hasil penilaian tersebut benar.
e.
Ketidaksepakatan
mengenai nilai-nilai
Dewey mengatakan bahwa ketidaksepakatan itu ada dua
macam, yaitu ketidaksepakatan faktual dan ketidaksepakatan semu. Jika kedua
orang tadi bersepakat
mengenai tujuan yang hendak dicapai,
maka pastilah ketidaksepakatan tersebut menyangkut
cara-cara yang dikehendaki untuk dilakukan dalam mencapai tujuan dengan menggunakan
sarana-sarana tertentu. Sebaliknya jika terdapat ketidaksepakatan mengenai
tujuan,
maka sesungguhnya dalam hal ini tidak mungkin terdapat
pertentangan pendapat. Karena sudah jelas bahwa apa yang dapat mendorong
tercapainya suatu keadaan tertentu mungkin tidak ada sangkut-pautnya dengan apa
yang dapat mendorong tercapainya suatu keadaan tertentu yang lain.
4.
Nilai sebagai
Esensi
Keberadaan nilai-nilai dari sudut ontologi, adalah menarik bahwa melalui apa yang dapat
dinamakan “indera nilai”. Pengetahuan mengenai nilai bersifat apriori dalam
arti tidak tergantung pada pengalaman dalam arti kata yang biasa. Nilai-nilai
diketahui secara langsung, baik orang yang dapat atau tidak menangkapnya.
mencoba menunjukkan nilai yang terdapat dalam suatu obyek atau perbuatan kepada
seseorang yang tidak mempunyai pengalaman tentang nilai sama sulitnya dengan
mencoba menunjukkan warna kepada orang buta. Sebab menurut Hartmann, nilai
bukanlah merupakan kualitas, melainkan merupakan esensi.
Agar dapat memahami ajaran Hartmann, hendaknya orang
berhati-hati serta menghindari tafsir bahwa nilai merupakan “sesuatu yang
bereksistensi” atau merupakan suatu kualitas tertentu.
Sesungguhnya nilai itulah yangmemberikan makna kepada
eksistensi; nilai-nilai dapat dipandang serupa dengan bentuk-bentuk apriori
untuk
mengalami seperti yang diajarkan oleh Kant.
Nilai-nilai tidak mengubah apa pun di alam semesta;
manusia sekadar memberikan respon terhadap
nilai-nilai, dan berusaha mewujudkannya. Dengan demikian, apabila eksistensi
dikatakan dapatberubah dan mengalami perubahan, maka nilai-nilai tidak berubah
dan bersifattetap. Menurut Hartmann nilai-nilai bukan hanya tidak tergantung
pada eksistensi, melainkan juga pada jiwa; sedangkan menurut Kant,
bentuk-bentuk untuk mengalami sesungguhnya merupakan bentuk-bentuk yang
dipunyai oleh jiwa. Berhubung dengan itu alam nilai merupakan alam yang
mendasari, yang nyata ada, dan yang abadi.
Jika orang dapat menangkap perbedaan antara esensi dan
eksistensi, maka teori tentang nilai tersebut di atas
tentu akan sangat menarik. Tampaknya teori ini dapat dipakai untuk
menyelesaikan begitu banyak masalah yang tersangkut dalam aksiologi. Teori ini
menjelaskan bahwa nilai-nilai bersifat objektif dan tetap, teori ini juga
menerangkan bahwa setiap tanggapan jelas menggandung unsur subjektifitas.
Barangkali kesukaran pokok yang dihadapi oleh Plato dalam hubungannya dengan
ajaran mengenai bentuk-bentuk yang abadi. Dalam hal nilai-nilai, kiranya tidak
mungkin menerapkan penyelesaian Aristoteles yang mengatakan bahwa bentuk-bentuk
terdapat didalam obyek. Karena salah satu kesulitan terbesar yang menghadang,
jika demikian keadaannya, obyek-obyek tentu harus dipandang mempunyai nilai
meskipun tidak ada orang yang memberi nilai kepadanya.
Keberatan
lain yang dapat diajukan terhadap teori esensi tentang nilai terletak pada
ajaran intuisi. Dalam pikiran dewasa ini, sebagian besar menolak mengakui cara
pemahaman secara itu. Tetapi tokoh-tokoh terpandang seperti Ross, Ewing, dan
lain-lain mempertahankan pendirian yang mengatakan bahwa memang ada bentuk
intuisi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ada tiga
pilar utama dalam filsafat ilmu yang selalu menjadi pedoman. Yaitu, ontologi, epistemologi, dan aksiologi (Jujun
S.Suriasumantri,1987:5). Ketiga pilar
itulah manusia berupaya untuk mencari dan menggali eksistensi ilmu
sedalam-dalamnya. Hakikat apa yang ingin diketahui manusia merupakan
pokok bahasan dalam ontologi.
Dalam hal ini manusia ingin mengetahui tentang “ada” atau eksistensi yang dapat dicerap oleh panca indera. Sedangkan Epsitemologi merupakan landasan kedua filsafat yang
mengungkapkan bagaimana manusia memperoleh pengetahuan atau kebenaran tersebut.
Setelah memperoleh pengetahuan, manfaat apa yang dapat digunakan dari
pengetahuan itu. Inilah yang kemudian membawa pemikiran kita menengok pada
konsep aksiologi. Yaitu, filsafat yang membahas masalah nilai kegunaan dari nilai
pengetahuan.
DAFTAR PUSTAKA
Kattsoff, Louis O. 1992. Alih Bahasa Soejono Soemargono. PENGANTAR FILSAFAT . Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya
https://id.scribd.com/doc/79670707/AKSIOLOGI-FILSAFAT-ILMU
Mantap sekali tulisannya.
BalasHapusSangat bermanfaat buat dijadikan referensi.
Mohon kunjungi blog saya juga ya.
FAJRIN MAULANA
hehehe iya mas terikasih sebelumnya sudah mau berkunjung di blog saya serta membaca artikel buatan saya, nanti akan saya kunjungi blog anda
Hapus