FIQIH EKONOMI DAN BISNIS ISLAM: WAKALAH DAN SIMSARAH
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Melihat kehidupan sekarang perlu
kiranya kita mengetahui akad dalam muammalah yang sekarang ini akan kita bahas
adalah wakalah (perwakilan), yang semuanya itu sudah ada dan diatur dalam al
Qur’an, Hadist, maupun dalam kitab-kitab klasik yang telah dibuat oleh ulama terdahulu. Untuk mengetahui tentang hukum wakalah,
sumber-sumber hukum wakalah, dan bagaimana seharusnya wakalah diaplikasikan
dalam kehidupan kita.
Wakalah sangat berperan penting
dalam kehidupan sehari-hari. Karena wakalah dapat membantu seseorang dalam
melakukan pekerjaan yang tidak dapat dilakukan oleh orang tersebut, tetapi
pekerjaan tersebut masih tetap berjalan seperti layaknya yang telah
direncanakan. Hukum wakalah adalah boleh, karena wakalah dianggap sebagai sikap
tolong-menolong antar sesama, selama wakalah tersebut bertujuan kepada
kebaikan.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian wakalah dan dasar
hukumnya?
2.
Apa saja rukun-rukun dalam wakalah?
3.
Bagaimana praktek wakalah di
masyarakat?
4.
Apa pengertian simsarah?
5.
Apa hukum makelar dalam islam?
C. Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui pengertian wakalah
dan dasar hukumnya!
2.
Untuk mengetahui apa saja
rukun-rukun dalam wakalah!
3.
Untuk mengetahui bagaimana praktek
wakalah di masyarakat!
4.
Untuk mengetahui pengertian
simsarah!
5.
Untuk mengetahui hukum makelar
dalam silam!
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian wakalah
Secara bahasa kata al-wakalah atau al-wikalah berarti
al-Tafwidh (penyerahan, pendelegasian dan pemberian mandat).
و كلت أمرى
الى الله أى فو ضته اليه
Artinya: “aku serahkan urusanku kepada Allah”.
Secara
terminologi (syara’) sebagaimana dikemukakan oleh fukaha:
1.
Imam Taqy al-Din Abu Bakr Ibn
Muhammad al-Husaini
تفويض ما له فعله مما يقبل النيا بة الى غيره ليحفظه فى
حال حياته
Artinya:
“menyerahkan suatu pekerjaan yang dapat digantikan kepada orang lain agar
dikelola dan dijaga pada masa hidupnya”.
2.
Menurut Hasbi Ash-Shiddiqie
“Akad
penyerahan kekuasaan dimana pada akad itu seseorang menunjuk orang lain sebagai
gantinya untuk bertindak”.
Dari dua definisi diatas dapat ditarik kesimpulan
bahwa, wakalah adalah sebuah transaksi dimana seseorang menunjuk orang lain
untuk menggantikan dalam mengerjakan pekerjaannya atau perkaranya ketika masih
hidup.
Dalam wakalah sebenarnya pemilik urusan (muwakkil) itu
dapat secara sah untuk mengerjakan pekerjaannya secara sendiri. Namun, karena
satu dan lain hal urusan itu ia serahkan kepada orang lain yang dipandang mampu
untuk menggantikannya. Oleh karena itu, jika seorang (muwakkil) itu ialah orang
yang tidak ahli untuk mengerjakan urusannya itu, seperti orang gila atau anak
kecil maka tidak sah untuk mewakilkan kepada orang lain. Contoh wakalah,
seseorang mewakilkan kepada orang lain untuk bertindak sebagai wali nikah dalam
pernikahan anak perempuannya. Contoh lain, seorang terdakwa mewakilkan urusan
kepada pengacaranya.[1][1]
B.
Landasan Hukum
Islam mensyariatkan wakalah karena manusia
membutuhkannya. Manusia tidak mampu untuk mengerjakan segala urusannya secara
pribadi. Ia membutuhkan orang lain untuk menggatikan yang bertindak sebagai
wakilnya. Kegiatan wakalah ini, telah dilakukan oleh orang terdahulu
seperti yang dikisahkan oleh al-Qur’an tentang ashabul kahfi, dimana ada
seorang diantara mereka diutus untuk mengecek kebasahan mata
uang yang mereka miliki ratusan tahun di dalam gua.
1.
Al-Qur’an
Salah satu dasar dibolehkannya al-wakalah adalah
sebagaimana dalam firman Allah SWT berikut:
قا ل اجعلنى على خزا ئن الاء رض
انى حفيظ عليم
“Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir). Sesungguhnya aku adalah
orang yang pandai menjaga lagi berpengalaman.” (Yusuf: 55)
Dalam hal ini, nabi Yusuf siap untuk menjadi
wakil dan pengemban amanah, menjaga Federal
Reserve negeri Mesir.
Dalam surat
al-Kahfi juga menjadi dasar al-wakalah yang artinya berikut:
“Dan demikianlah Kami bangkitkan mereka agar saling bertanya di antara
mereka sendiri. Berkata salah seorang diantara mereka agar saling bertanya,
‘Sudah berapa lamakah kamu berdiri di sini?’ Mereka menjawab, ‘Kita sudah
berada di sini satu atau setengah hari.’ Berkata yang lain, ‘Tuhan kamu lebih
mengetahui berapa lamanya kamu berada di sini. Maka, suruhlah salah seorang di
antara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini dan hendaklah ia
lihat manakah makanan yang lebih baik dan hendaklah ia membawa makanan itu
untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah lembut, dan janganlah sekali-kali
menceritakan halmu kepada seorang pun.” (al-Kahfi: 19).
Ayat di atas menggambarkan perginya salah
seorang ash-habul kahfi yang bertindak untuk dan atas nama rekan-rekannya
sebagai wakil mereka dalam memilih dan membeli makanan.
2. Ijma’
Ulama membolehkan wakalah karena wakalah
dipandang sebagai bentuk tolong menolong atas dasar kebaikan dan taqwa yang
diperintahkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya. Allah SWT berfirman dalam surat
Al-Maidah ayat 2 :
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإثْمِ وَالْعُدْوَانِ
وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Artinya:
“Dan tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebaikan dan taqwa dan janganlah
kamu tolong menolong dalam mengerjakan dosa dan permusuhan dan bertaqwalah
kepada Allah. Sesungguhnya siksa Allah sangat pedih”.[2][1]
3. Hadits
ان رسول الله صلى الله عليه وسلم بعث اب رافع ورجلا من
الا نصار فزو جاه ميمو نة بنت
الحارث
“Bahwasanya Rasulullah saw. mewakilkan kepada Abu Rafi’ dan seorang
Anshar untuk mewakilinya mengawini Maimunah binti Harits.”
Dalam kehidupan sehari-hari, Rasulullah telah
mewakilkan kepada orang lain untuk berbagai urusan. Diantaranya membayar utang,
mewakilkan penetapan had dan membayarnya, mewakilkan pengurusan unta, membagi
kandang hewan, dan lain-lain.
C.
Rukun dan Syarat wakalah
Rukun wakalah adalah:
1. al muwakkil (orang yang mewakilkan/
melimpahkan kekuasaan)
2. al wakil ( orang yang menerima perwakilan)
3. al muwakkal fih (sesuatu yang diwakilkan)
4. Sighat ( ucapan serah terima)
Sebuah akad wakalah dianggap sah apabila memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
Ada beberapa
rukun yang harus dipenuhi dalam wakalah:
1. Orang yang
mewakilnya (muwakkil) syaratnya dia berstatus sebagai pemilik
urusan/benda dan menguasainya serta dapat bertindak terhadap harta tersebut
dengan dirinya sendiri. Jika muwakkil itu bukan pemiliknya atau bukan
orang yang ahli maka batal. Dalam hal ini, maka anak kecil dan orang gila tidak
sah menjadi muwakkil karena tidak termasuk orang yang berhak untuk
bertindak.
2. Wakil (orang
yang mewakili) syaratnya ialah orang berakal. Jika ia idiot, gila, atau belum
dewasa maka batal. Tapi menurut Hanafiyah anak kecil yang cerdas (dapat membedakan
mana yang baik dan buruk) sah menjadi wakil alasannya bahwa Amr bin Sayyidah
Ummu Salamah mengawinkan ibunya kepada Rasulullah, saat itu Amr masih kecil
yang belum baligh. Orang yang sudah berstatus sebagai wakil ia tidak boleh
berwakil kepada orang lain kecuali seizin dari muwakkil pertama atau karena
terpaksa seperti pekerjaan yang diwakilkan terlalu benyak sehingga tidak dapat
mengerjakannya sendiri maka boleh berwakil kepada orang lain. Si wakil tidak
wajib untuk menanggung kerusakan barang yang diwakilkan kecuali disengaja atau
cara di luar batas.
3. Muwakkal fih (sesuatu
yang diwakilkan), syaratnya:
a)
Pekerjaan atau urusan itu dapat
diwakilkan atau digantikan oleh orang lain. Oleh karena itu, tidak sah untuk
mewakilkan untuk mengerjakn ibadah seperti salat, puasa dan membaca al-Qur’an.
b) Pekerjaan
itu dimiliki oleh muwakkil sewaktu akad wakalah. Oleh karena itu,
tidak sah berwakil menjual sesuatu yang belum dimilikinya.
c)
Pekerjaan itu diketahui secara
jelas. Maka tidak sah mewakilkan sesuatu yang masih samar seperti “aku
jadikan engkau sebagai wakilku untuk mengawini salah satu anakku”.
4.
Shigat:shigat hendaknya berupa lafal
yang menunjukkan arti “mewakilkan” yang diiringi kerelaan dari muwakkil
seperti “saya wakilkan atau serahkan pekerjaan ini kepada kamu untuk
mengerjakan pekerjaan ini” kemudian diterima oleh wakil. Dalam shigat
kabul si wakil tidak syaratkan artinya seandainya si wakil tidak mengucapkan
kabul tetap dianggap sah.[3][1]
D.
Aplikasi Wakalah Dalam Kehidupan
Sehari-Hari
Akad Wakalah dapat
diaplikasikan ke dalam berbagai bidang, termasuk dalam bidang ekonomi, terutama
dalam institusi keuangan:
1.
Transfer uang
Proses transfer uang ini adalah
proses yang menggunakan konsep akad Wakalah, dimana prosesnya diawali
dengan adanya permintaan nasabah sebagai Al-Muwakkil terhadap bank
sebagai Al-Wakil untuk melakukan perintah/permintaan kepada bank untuk
mentransfer sejumlah uang kepada rekening orang lain, kemudian bank mendebet
rekening nasabah (Jika transfer dari rekening ke rekening), dan proses yang
terakhir yaitu dimana bank mengkreditkan sejumlah dana kepada rekening tujuan.
Berikut adalah beberapa contoh proses dalam transfer uang ini
2.
Wesel Pos
Pada proses wesel pos, uang tunai
diberikan secara langsung dari Al-Muwakkil kepada Al-Wakil, dan Al-Wakil
memberikan uangnya secara langsung kepada nasabah yang dituju. Berikut
adalah proses pentransferan uang dalam Wesel Pos.
3.
Transfer uang melalui cabang suatu
bank
Dalam proses ini, Al-Muwakkil memberikan
uangnya secara tunai kepada bank yang merupakan Al-Wakil, namun bank
tidak memberikannya secara langsung kepada nasabah yang dikirim. Tetapi bank
mengirimkannya kepada rekening nasabah yang dituju tersebut. Berikut adalah
proses pentrasferan uang melalui cabang sebuah bank.
4.
Transfer melalui ATM
Kemudian ada juga proses transfer
uang dimana pendelegasian untuk mengirimkan uang, tidak secara langsung uangnya
diberikan dari Al-Muwakkil kepada bank sebagai Al-Wakil. Dalam
model ini, Nasabah Al-Muwakkil meminta bank untuk mendebet rekening
tabungannya, dan kemudian meminta bank untuk menambahkan di rekening nasabah
yang dituju sebesar pengurangan pada rekeningnya sendiri. Yang sangat sering
terjadi saat ini adalah proses yang ketiga ini, dimana nasabah bisa melakukan
transfer sendiri melalui mesin ATM.
E. Pengertian simsarah
Dalam kamus Bahasa Indonesia, makelar didefinisikan
sebagai perantara pada jual beli.[4][1] Makelar dalam bahasa Arab disebut dengan simsar. Dan kerja makelar
disebut simsarah, ialah perantara perdagangan yaitu orang yang
menjualkan atau yang mencarikan pembeli. Atau perantara antara penjual dan
pembeli untuk memudahkan jual beli.[5][2]Makelar dalam kitab-kitab fiqih terdahulu disebut dengan istilah “samsarah”
atau “simsarah”. Sayyid Sabiq mendefinisikan simsar adalah orang yang
menjadi perantara antara pihak penjual dan pembeli guna lancarnya transaksi
jual beli[6][3]
Pada zaman modern ini, pengertian perantara
sudah lebih meluas lagi, sudah bergeser kepada jasa pengacara, jasa konsultan, tidak hanya sekedar
mempertemukan orang yang menjual dengan orang yang membeli saja, dan tidak
hanya menemukan barang yang dicari dan menjualkan barang saja.
F.
Hukum makelar dala islam
Imam Bukhari berkata:
“Ibnu Sirin,Artha,Ibrahim,dan Hasan memandang bahwa simsar itu boleh”. Ibnu
Abbas berkata dalam sebuah hadits dinyatakan:
ءن ا بن عبا س ر ضي ا
لله عنهما فى معني ا لسمسار قا ل:لا با س ا ن يقو ل: بع هذا الثو ب بكذا فما زاد
فهو لك
Artinya: “Dari Ibnu Abbas r.a.,dalam perkara pengertian simsar, ia berkata,”Tidak
mengapa, kalau seseorang berkata, “Juallah kain ini dengan
harga sekian, berapapun lebihnya (dari penjualan itu) adalah untuk
engkau.”(HR.Bukhari)
Adapun kelebihan yang
dinyatakan dalam hadits ini adalah: pertama, harga yang lebih tinggi daripada harga yang ditentukan si penjual barang. Kedua, kelebihan barang
setelah dijual menurut harga yang telah ditentukan oleh si pemilik barang
kepada si pembeli.
Orang yang menjadi simsar
dinamakan komisioner, makelar dan agen. Keberadaannya bergantung pada persyaratan atau ketentuan
menurut hukum dengan sekarang ini.
Apapun namanya, misalnya simsar, komisioner, makelar dan agen, mereka bertugas sebagai perantara dalam menjualkan
barang-barang dagangan, baik atas nama sendiri maupun atas nama perusahaan
pemilik barang.[7][4]Berdagang secara simsar ini dibolehkan dalam agama selama dalam
pelaksanaanya tidak terjadi penipuan. Dengan demikian antara pemilik barang dan
makelar dapat mengatur suatu syarat tertentu mengenai jumlah keuntungan yang
diperoleh pihak makelar.
Untuk menghindari
jangan sampai terjadi hal-hal yang tidak diingini maka barang-barang yang akan
ditawarkan dan diperlukan harus jelas. Demikian juga dengan imbalan jasanya
harus ditetapkan bersama lebih dahulu, apalagi nilainya dalam jumlah yang
besar. Biasanya kalau nilainya besar, ditandatangani lebih dahulu perjanjiannya
didepan notaris.[8][5]
Makelar
(pengacara,konsultan) hendaknya berlaku jujur, dan ikhlas menangani tugas yang
dipercayakan kepadaya. Dengan demikian tidak akan terjadi kemungkinan ada
penipuan dan memakan harta orang lain (imbalan) dengan jalan haram sebagaimana
firman Allah yang artinya :
“ Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan
janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu”. (Qur’an Terjemah Surah Annisa ayat 29)
Makelar berhak menerima
imbalan setelah berhasil memenuhi akadnya, sedangkan pihak yang menggunakan
jasa makelar harus memenuhi dengan segera memberikan imbalannya, sesuai dengan
hadis Nabi:
“berilah kepada pekerja itu upahnya sebelum kering keringatnya”.(HR.Ibnu Majah dari Ibnu Umar, Abu Ya’la dari Abu Huraira, dan Al-Thabrani
dari Anas)
BAB III
PENUTUP
Dari sekian banyak akad-akad yang
dapat diterapkan dalam kehidupan manusia. Wakalah termasuk salah satu
akad yang menurut kaidah Fiqh Muamalah, akad Wakalah dapat diterima.
Pengertian Wakalah adalah sebuah transaksi dimana seseorang
menunjuk orang lain untuk menggantikan dalam mengerjakan pekerjaannya atau perkaranya
ketika masih hidup.
Dalam akad Wakalah ada beberapa rukun dan syarat yang
harus dipenuhi agar akad ini menjadi sah:
a)
Orang yang
mewakilkan (Al-Muwakkil)
b)
Orang yang
diwakilkan. (Al-Wakil)
c)
Obyek yang
diwakilkan.
d)
Shighat
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Rahman
Ghazaly. 2010. Fiqih Muamalat. Jakarta:Kencana.
Suhendi Hendi.
2002. Fiqh Muamalat. Jakarta:Raja
Grafindo.
[7][4] Ibnu
Mas’ud,Zainal Abidin S, Fiqih Madzhab Syafi’i edisi 2, (Bandung: Pustaka
Setia,2000), hal.50
Komentar
Posting Komentar