MAKALAH HADIST JUAL BELI
I. LATAR
BELAKANG
Rasulullah merupakan
contoh tauladan bagi kita sebagai umat islam. Semua ucapan, sikap dan perbuatan
Rasul mengajarkan kita tentang ajaran islam sekaligus contoh bagi kita untuk
bertindak ataupun bersikap. Ajaran islam tersebut memerintahkan untuk menjalin
hubungan baik secara vertikal maupun horizontal, yakni hablu min Allah
wa hablu min al-nas. Rasul selalu mengajarkan kita untuk saling menghormati
dan menghargai antar sesama.
Manusia merupakan
makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendirian. Manusia masih memerlukan
bantuan orang lain untuk memenuhi kehidupannya. Satu sama lain saling membantu.
Oleh karena itu, kita diperintah untuk berbuat baik antar sesama, selain
menjalin hubungan dengan Allah. Rasul pun telah menjelaskan mengenai
aturan-aturan ataupun etika dalam hidup bermasyarakat.Salah satunya aturan
mengenai jual-beli.
Jual-beli merupakan
salah satu kegiatan muamalah yang sering dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam masalah jual-beli ini, Rasulullah pun telah menjelaskan mengenai etika
berdagang, menunjukkan mengenai mana jual-beli yang diperbolehkan dan mana
jual-beli yang tidak diperbolehkan. Sehingga antara penjual ataupun pembeli
tidak ada yang dirugikan.Karena unsur yang terpenting dalam jual-beli adalah
kerelaan antara kedua belah pihak, yaitu salah satu pihak tidak ada yang rugi.
Sehingga perlu kita mengetahui bagaimana etika dalam jual-beli yang sebenarnya.
II.
RUMUSAN MASALAH
A. Pengertian jual beli
B. Macam-macam jual beli
C. Macam-macam jual beli yang dilarang dan yang sah
D. Rukun jual beli
E. Etika jual beli
F. Akad transaksi dalam etika jual beli
G. Asas-asas jual beli
H. Syarat-syarat jual beli
I. Hadits tentang larangan jual beli Mulamasah, Mudhabanah dan Muhakolah
J. Jual beli ijon
K. Jual beli wafa'
L. Jual beli ghoror
III.
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
JUAL BELI
JUAL
BELI[1]
Hadist
Ke-1
عن عبد الله بن عمر رضى الله عنهما عن رسول الله صلى الله عليه وسلم
أنه قال إذا تبايع الر جلا ن فكل واحد منهما بالخيار مالميتفرقا وكانا جميعا
أويخير أحدهما الأ خر فتبا يعا على ذلك فقد وجب البيع وإن تفر قا بعد أن يتبا يعا
ولم يترك واحد منهما البيع فقد وجب البيع
“Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu Anhuma, dari
Rasulillahshallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda, “Jika dua orang saling
berjual beli, maka masing-masing diantara keduanya mempunyai hak pilih selagi
keduanya belum berpisah, dan keduanya sama-sama mempunyai hak, atau salah
seorang diantara keduanya memberi pilihan kepada yang lain”. Beliau bersabda,
“Jika salah seorang diantara keuanya memberi pilihan kepada yang lain, lalu
keduanya menetapkan jual beli atas dasar pilihan itu, maka jual beli menjadi
wajib”. (HR Bukhari – Muslim)[2]
Hadist
Ke-2
عن حكيم بن حزام رضى الله عنه قال رسول الله صلى الله عليه و سلم
البيعان بالخيارمالم يتفرقا او قال حتى يتفر قا فإن صدقا وبينا برك لهما في بيعهما
وإن كتماو كذ با محقت بر كت بيعهما
“Ada hadist yang semakna dari hadist Hakim bin Hizam Radhiyallahu
Anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Dua orang
yang berjual beli mempunyai hak pilih selagi belum saling berpisah”, atau
beliau bersabda, “Hingga keduanya saling berpisah, jika keduanya saling jujur
dan menjelaskan, maka keduanya diberkahi dalam jual beli itu, namun jika
keduanya saling menyembunyikan dan berdusta, maka barakah jual beli itu
dihapuskan”. (HR Bukhari – Muslim)
Kesimpulan
Hadist:
1.
Penetapan
hak pilih ditempat bagi penjua dan pembeli, untuk dilakukan pengesahan jual
beli atau pembatalannya.
2.
Temponya
ialah semenjak jual beli dilaksanakan
hingga keduanya saling berpisah dari tempat itu.
3.
Jual
beli mengharuskan pisah badan dari tempat dilaksanakan akad jual beli.
4.
Jika
penjual dan pembeli sepakat untuk membatalkan akad setelah akad disepakati dan
sebelum berpisah, atau keduanya saling melakukan jual beli tanpa menetapkan hak
pilih bagi keduanya, maka akad itu dianggap sah, karena hak itu menjadi milik
mereka berdua, bagaimana keduanya membuat kesepakatan, terserah kepada
keduanya.
5.
Perbedaan
antara hak Allah Swt dan yang semata merupakan hak anak Adam, bahwa apa yang
menjadi hak Allah Swt, pembolehannya tidak cukup dengan keridhaan anak Adam,
seperti akad riba. Sedangkan yang menjadi hak anak Adam diperbolehkan menurut
keridhaannya, yang diungkakan karena hak itu tidak melangggarnya.
6.
Pembuat
syariat tidak menetapkan batasan untuk perpisahan. Dasarnya adalah tradisi. Apa
yang dikenal manusia sebagai perpisahan, maka itulah ketetapan jual beli.
Keluar dari rumah kecil,naik ke bagian atas, menyingkir ke tempat lain atau
yang semisalnya, bisa dianggap perpisahan tentang tempo untuk menetapkan hak
pilih dan akad.
7.
Para
ulama mengharamkan penjual atau pembeli meninggalkan tempat (sebelum akad
ditetapkan),karena dikhawatirkan kan terjadi pembatalan. Ahlus-Sunan
meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Dan tidak
dihalalkan baginya (penjual atau pembeli) meninggalkan yang lain, karena
dikhawatirkan hal itu merupakan permintaan untuk membatalkan jual beli”. Hal itu menggambarkan pengguguran terhadap hak orang
lain.
8.
Jujur
dalam mu’amalah dan menjelaskan keadaan barang dagangan merupakan sebab barakah
di dunia dan di akhirat, sebagaimana dusta, bohong dan menutup-nutupi cacat
merupakan sebab hilangnya barakah. Hal ini dapat dirasakan secara nyata di
dunia. Orang-orang yang sukses dalam bisnisnya dan yang laku barang dagangannya
ialah mereka yang jujur dalam mu’amalah yang baik. Peniagaan tidak merugi dan
bangkrut melainkan karena pengkhianatan. Disamping itu, orang yang jujur
mendapatkan pahala yang besar di sisi Allah Swt. [3]
Jual Beli bisa
didefinisikan sebagai: Suatu transaksi pemindahan pemilikan suatu barang dari
satu pihak (penjual) ke pihak lain (pembeli) dengan imbalan suatu barang lain
atau uang.
Atau dengan kata lain,
jual beli itu adalah ijab dan qabul,yaitu suatu proses penyerahan dan
penerimaan dalam transaksi barang atau jasa.
Islam mensyaratkan
adanya saling rela antara kedua belah pihak yang bertransaksi. Hadits riwayat
Ibnu Hibban dan Ibnu Majah menjelaskan hal tersebut:
إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ
تَرَاضٍ
“Sesungguhnya Jual Beli
itu haruslah dengan saling suka sama suka.”
Oleh karena kerelaan
adalah perkara yang tersembunyi, maka ketergantungan hukum sah tidaknya jual
beli itu dilihat dari cara-cara yang nampak (dhahir) yang menunjukkan suka sama
suka, seperti adanya ucapan penyerahan dan penerimaan.
B. MACAM-MACAM JUAL BELI
Beberapa macam jual
beli yang diakui Islam antara lain adalah:
1. Jual beli barang
dengan uang tunai
2. Jual Beli barang
dengan barang (muqayadlah/barter)
3. Jual beli uang
dengan uang (Sharf)
4. Jual Utang dengan
barang, yaitu jual beli Salam (penjualan barang dengan hanya menyebutkan
ciri-ciri dan sifatnya kepada pembeli dengan uang kontan dan barangnya
diserahkan kemudian)
5. Jual beli Murabahah
( Suatu penjualan barang seharga barang tersebut ditambah keuntungan yang
disepakati. Misalnya seseorang membeli barang kemudian menjualnya kembali
dengan keuntungan tertentu. Karakteristik Murabahah adalah si penjual harus
memberitahu pembeli tentang harga pembelian barang dan menyatakan jumlah
keuntungan yang ditambahkan pada biaya tersebut.”
Untuk dapat mengetahui
dan memahami bentuk-bentuk transaksi jual beli yang dilakukan oleh umumnya
manusia, apakah hukumnya sah atau tidak, penghasilan yang diperolehnya halal
atau tidak, maka berikut ini kami akan sebutkan rukun-rukun dan syarat-syarat
sahnya jual beli.
C. MACAM-MACAM JUAL BELI YANG DILARANG DAN YANG SAH
“Wahai orang-orang yang
beriman. Janganlah sebagian dari kamu memakan (mengambil) harta milik sebagian
di antaramu dengan cara yang tidak benar (batil), kecuali jika dengan jalan
perniagaan yang didasarkan atas kerelaan antara kedua belah pihak diantara
kamu. Janganlah kamu membunuh dirimu sendiri, sesungguhnya Allah Maha Kekal
rahmat-Nya.”( An-Nisa' : 29 )
Jual beli dalam bahasa
arab disebut ba’i yang secara bahasa adalah tukar menukar, sedangkan menurut
istilah adalah tukar menukar atau peralihan kepemilikan dengan cara pergantian
menurut bentuk yang diperbolehkan oleh syara’ atau menukarkan barang dengan
barang atau barang dengan uang, dengan jalan melepaskan hak milik dari
seseorang terhadap orang lainnya atas kerelaan kedua belah pihak. Hukum
melakukan jual beli adalah boleh (جواز) atau (مباح), sesuai dengan firman Allah
dalam surat al-Baqarah ayat 275:
”Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”
Dan hadist Nabi
yang berasal dari Ruf’ah bin Rafi’ menurut riwayat al-Bazar yang disahkan oleh
al-Hakim:
أن النبى صلى الله عليه وسلم سئل أى الكسب أطيب قال عمل الرجل بيده وكل بيع
مبرور
“Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW, pernah ditanya tentang usaha apa yang
paling baik; nabi berkata: “Usaha seseorang dengan tangannya dan jual
beli yang mabrur”.
Jual beli berdasarkan
pertukarannya secara umum dibagi menjadi empat macam :
1.
Jual beli salam (pesanan)
Yaitu jual beli dengan
cara menyerahkan terlebih dahulu uang muka kemudian barangnya diantar belakangan.
2.
Jual beli Muqayyadah (barter)
Yaitu jual beli dengan
cara menukar barang dengan barang.
3.
Jual beli Muthlaq
Yaitu jual beli barang
dengan sesuatu yang telah disepakati sebagai alat penukaran.
4.
Jual beli alat penukar dengan alat penukar
Yaitu jual beli barang
yang biasa dipakai sebagai alat penukar dengan alat penukar lainnya, seperti
uang perak dengan uang emas.[4][1]
"Orang-orang yang
makan (bertransaksi dengan) riba, tidak dapat berdiri malainkan seperti
berdirinya orang yang dibingungkan oleh setan sehingga ia tak tahu arah
disebabkan oleh sentuhan(nya). Keadaan mereka yang demikian itu disebabkn
karena mereka berkata 'jual beli tidak lain kecuali sama dengan riba, padahal
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Maka barang siapa
yang telah sampai kepadanya peringatan dari tuhannya (menyangkut riba), lalu
berhenti (dari praktik riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu
(sebelum datang larangan); dan urusannya (kembali) kepada allah. Adapun yang
kembali (bertransaksi riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka;
mereka kekal di dalamnya"(Q.S. Al-Baqarah : 275)
Dalam ayat ini tidak
hanya melarang praktek riba, tetapi juga sangat mencela pelakunya, bahkan
mengancam mereka. Orang-orang yang makan, yakni bertransaksi dengan riba, baik
dalam bentuk memberi ataupun mengambil, tidak dapat berdiri, yakni melakukan
aktivitas, melainkan seperti berdrinya orang yang dibingungkan oleh setan
sehingga ia tak tahu arah disebabkan oleh sentuhan(nya).
Tidak menutup
kemungkinan mamahaminya sekarang dalam kehidupan dunia.Mereka yang melakukan
praktik riba, hidup dalam situasi gelisah, tidak tentram, selalu bingung, dan
berada dalam ketidakpastian disebabkan pikiran mereka yang tertuju kepada
materi dan penambahannya. Lihatlah keadaan manusia dewasa ini. Kemajuan dalam
bidang ilmu pengetahuan dan teknologi sedemikian pesat, tetapi lihat juga
kehidupan masyarakat, lebih-lebih yang mempraktikkan riba. Di sana mereka hidup
dalam kegelisahan, tidak tahu arah, bahkan aktivitas yang tidak rasional mereka
lakukan.
Bagaimana dengan
perumpamaan yang dilukiskan sebagai sentuhan setan terhadap mereka ?Ada
dua ulama yang memahami ayat ini sebagai berbicara tentang manusia yang
kesurupan sambil menguatkan pandangannya dengan berbagai ayat dan hadits yang
intinnya menyatakan bahwa ada setan yang selalu mendampingi manusia.
Tidakkah Anda pernah
melihat kata mereka seseorang yang menjadi demikian kuat berbicara dengan
berbagai bahasa asing, tetapi dalam keadaan normalnya lemah dan tidak mengerti,
kecuali bahasa ibunya ? Apakah yang menjadikan dia mampu kalau bukan jin yang
telah merasuk kedalam tubuhnya ?
Ibn 'Abbas meriwayatkan
bahwa seseorang wanita membawa anaknya kepada Rasulullah saw seraya berkata,
"Sesungguhnya putraku menderita gangguan ( gila ) yang menimpanya setiap
kami makan siang dan malam," maka Rasulullah saw mengusap dadanya, dan
berdoa untuk kesembuhannya. Ia kemudian muntah dan keluarlah sesuatu seperti
anjing hitam. Dan sembuhlah ia" ( HR. Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi)
Kalau air dan makanan
dapat masuk kedalam tubuh manusia, sedang tingkat kehalusan jin, apa yang
menghalangi jin masuk ? Bukankah angin pun dapat masuk ke tubuh manusia
?Demikian dalil atau dalih mereka yang memahami ayat dan hadits-hadits di atas
dalam arti hakiki.[5][2]
Jual beli yang dilarang
dalam islam sangatlah banyak. Jumhur ulama tidak membedakan antara fasid dan
batal. Dengan kata lain, menurut Jumhur Ulama, hukum jual-beli terbagi menjadi
dua, yaitu jual beli shahih dan jual beli fasid.
Jual beli yang diharamkan dalam islam adalah sebagai berikut :
1.
Menjual barang yang sudah dibeli oleh orang lain.
2.
Menjual minuman keras dan yang sejenisnya (narkoba).
3.
Menjual barang najis.
4.
Gharar, yaitu jual beli yang tidak jelas, mengandung unsur ketidak
pastian/spekulasi dan penipuan. Diantaranya :
a.
Hashat, jual beli tanah yang tidak jelas luasnya
b.
Nitaj, jual beli hasil binatang ternak sebelum memberikan hasil
c.
Mulamasah dan Munabadzah
d.
Muhaqolah dan Muzabanah
e.
Mukhadarah
f.
Habalil Habalah, jual beli anak unta yang masih dalam perut induknya
g.
Talqi Jabal, petani membawa hasil panen kekota, kemudian orang kota menjual
dengan harga yang ditetapkan sendiri
h.
Hadir al-Ibad, monopoli dengan tujuan harga yang tinggi
i.
Najsy, menjual barang karena mendengar akan naik lalu dijual dengan harga yang
tinggi ketika harga sudah naik.
5.
Menentukan dua harga untuk satu barang yang diperjualbelikan
6.
Jual beli dengan syarat (iwadh mahjul)
7.
Jual beli dengan mengecualikan sebagian benda yang dijual
9.
Dua perjanjian dalam satu transaksi jual beli
10. Menawar
barang yang sedang ditawar orang lain
11. Berjualan
ketika adzan jumat dikumandangkan
D. RUKUN JUAL BELI:
Jual beli memiliki 3
(tiga) rukun:
1.Al- ‘Aqid (orang yang
melakukan transaksi/penjual dan pembeli),
2. Al-‘Aqd (transaksi),
3. Al-Ma’qud ‘Alaihi (
objek transaksi mencakup barang dan uang).
E.
ETIKA
JUAL BELI
·
Menjauhkan
yang Haram Dalam Jual Beli
(QS Al-An’am [6]: 152)
ولاتقربوا مال آليتيم إلا بالتى هى أحسن حتى يبلغ اشده،وأوفوا آلكيل
وآلميزان بالقسط لا نكلف نفسا إلاوسعها وإذا قلتم فا عدلواولوكان ذا قر بى وبعهد
الله أوفوا ذلكم و صكم به لعلكم تذ كرون
Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara
yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnkanlah takaran dan
timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan
sekadar kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku
adil, kendatipun ia adalah kerabat (mu),[9]
dan penuhilah janji Allah.[10]
Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat.
(QS Al-Syu’ara [26]: 181)
أوفوا آلكيل ولا تكو نوا من آلمخسرين
Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang
merugikan.
(QS Al-Syu’ara [26]: 182)
وزنوا با لقسطا س آلمستقيم
Dan timbanglah dengan timbangan yang lurus.[11]
(QS Al-Syu’ara [26]: 183)
ولا تبخسوا آلناس أشياءهم ولا تعثوا فى آلأرض مفسدين
Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah
kamu merajalela dimuka bumi dengan membuat kerusakan.
(QS Al-Rahman [55]: 8)
ألاتطغوا فى آلميزان
Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu.
(QS Al-Rahman [55]: 9)
وأقيموا آلوزن بالقسط ولا تخسروا آلميزان
Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu
mengurangi neraca itu.
“jika mereka merusak
(melanggar) perjanjian-perjanjian sesudah mereka buat serta mencela
(menjelek-jelekkan) agamamu, maka perangilah pemimpin-pemimpin orang kafir itu.
Sebenarnya mereka itu tidak ada harganya (nilainya). Semoga mereka berhenti
dari kekafiran” (Q.S At-Taubah : 12)
Jika mereka merusak
atau melanggar perjanjian (seperti perjanjian Hudaibiah), yang telah dibuatnya,
mencela dan memperolok-olok agamamu, serta menghambat manusia mengikuti jalan
Allah, maka mereka itu wajib diperangi, agar kembali insaf. Merekalah
gembong-gembong kufur dan pemimpin-pemimpinnya.
Mereka memang telah
mencacat Al-Quran dan memburuk-burukkan Nabi seperti apa yang telah dilakukan
oleh ahli-ahli syair dari kelompoknya, sehingga karenanya mereka menjadi
bingung. Perjanjian-perjanian yang mereka buat itu tidak ada harganya. Sebab
perjanjian itu bersifat tipuan semata. Mereka tidak bermaksud menepatinya.
Perangilah mereka dengan pengharapan supaya menghentikan kekafirannya, dan
tidak lagi suka melanggar perjanjian, ini memberi pengertian bahwa memerangi
mereka bukanlah atas dasar mengikuti hawa nafsu atau untuk mencari keuntungan
dunia.[12][7]
Dari Abu Hurairah
radhiallahu‘anhu dia berkata:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ عَلَى
صُبْرَةِ طَعَامٍ فَأَدْخَلَ يَدَهُ فِيهَا فَنَالَتْ أَصَابِعُهُ بَلَلًا فَقَالَ
مَا هَذَا يَا صَاحِبَ الطَّعَامِ قَالَ أَصَابَتْهُ السَّمَاءُ يَا رَسُولَ
اللَّهِ قَالَ أَفَلَا جَعَلْتَهُ فَوْقَ الطَّعَامِ كَيْ يَرَاهُ النَّاسُ مَنْ
غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّي
“Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam pernah melewati setumpuk makanan, lalu beliau memasukkan
tangannya ke dalamnya, kemudian tangan beliau menyentuh sesuatu yang basah.
Maka beliaupun bertanya, “Apa ini wahai pemilik makanan?”Dia menjawab, “Makanan
tersebut terkena air hujan wahai Rasulullah.”Beliau bersabda, “Mengapa kamu
tidak meletakkannya di bagian atas agar manusia dapat melihatnya?!Barangsiapa
yang menipu maka dia bukan dari golonganku.”(HR. Muslim no. 102)
Dari Hakim bin Hizam
radhiallahu’anhu dari Nabi Shallallu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda:
الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا
بُورِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا وَإِنْ كَذَبَا وَكَتَمَا مُحِقَ بَرَكَةُ
بَيْعِهِمَ
“Kedua orang yang
bertransaksi jual beli berhak melakukan khiyar selama keduanya belum berpisah.
Jika keduanya jujur dan terbuka, maka keduanya akan mendapatkan keberkahan
dalam jual beli. Tapi jika keduanya berdusta dan tidak terbuka, maka keberkahan
jual beli antara keduanya akan dihapus.”(HR. Al-Bukhari no. 1937 dan Muslim no. 1532)
Abu Hurairah
radhiallahu‘anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda:
الْحَلِفُ مُنَفِّقَةٌ لِلسِّلْعَةِ مُمْحِقَةٌ لِلْبَرَكَةِ
“Sumpah itu (memang
biasanya) melariskan dagangan jual beli namun bisa menghilangkan berkahnya”.(HR. Al-Bukhari no. 1945 dan Muslim no. 1606)
Dari Abu Qatadah
Al-Anshari radhiallahu anhu, bahwa dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda:
إِيَّاكُمْ وَكَثْرَةَ الْحَلِفِ فِي الْبَيْعِ فَإِنَّهُ يُنَفِّقُ ثُمَّ
يَمْحَقُ
“Jauhilah oleh kalian
banyak bersumpah dalam berdagang, karena dia (memang biasanya) dapat melariskan
dagangan tapi kemudian menghapuskan (keberkahannya).”(HR. Muslim no. 1607)
Salah satu profesi yang
dianjurkan dalam Islam bahkan sering tersebut dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah
adalah profesi petani dan pedagang. Karenanya banyak sekali sahabat Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam berprofesi menjadi petani atau pedagang. Hanya
saja, di dalam Islam setiap profesi yang dibenarkan untuk ditempuh tujuannya
bukan semata-mata untuk menghasilkan uang atau meraih kekayaan. Akan tetapi
yang jauh lebih penting daripada itu adalah untuk mendapatkan keberkahan dari
hasil jerih payahnya. Dan keberkahan dari harta bukan dinilai dari kuantitasnya
akan tetapi dinilai dari kualitas harta tersebut, darimana dia peroleh dan
kemana dia belanjakan.
Karenanya, dalam
perdagangan dan jual beli, Islam menuntunkan beberapa etika diantaranya:
1.
Tidak boleh curang dalam jual beli.
2.
Tidak boleh menutupi cacat barang dagangan dari para pembeli.
3.
Menjelaskan dengan sejelas-jelasnya kebaikan dan kekurangan barang yang dia
jual.
4.
Tidak boleh terlalu banyak bersumpah (walaupun sumpahnya benar) dengan tujuan
melariskan dagangannya. Karena terlalu sering menyebut nama Allah pada jual
beli atau pada hal-hal sepele menunjukkan kurangnya pengagungan dia kepada
Allah.
Seperti yang kita
ketahui bahwa profesi yang paling disenangi Allah adalah pofesi sebagai Petani
dan Pedagang, bahkan Rasulullah adalah seorang pedagang. Profesi ini pun
diikuti oleh sahabat rasulullah yang sebagian besar adalah petani atau
pedagang. Setiap profesi bukan semata mata untuk mencari dan menghasilkan uang
dan kekayaan untuk keluarga dan diri sendiri, tetapi dalam islam yang jauh
lebih penting adalah keberkahan dalam setiap rejeki itu sendiri. Keberkahan
tersebut bisa didapat dari etika seorang pedagang tersebut menawarkan barang
atau jasanya seperti bagaimana cara seseorang tersebut mendapatkan uang apakah
barang atau jasa yang ditawarkan itu halal atau tidak, akad yang digunakan sah
atau tidak serta qualitas barang atau jasa yang ditawarkan layak atau tidak.
“Tempat yang paling dicintai Allah adalah
masjid-masjid dan tempat yang paling dibenci Allah adalah pasar-pasar.” (H.R. Muslim) Hadist tersebut menjelaskan bahwa salah satu tempat yang dibenci allah
adalah pasar. Pasar adalah tempat para pedagang melakukan pekerjaan jual beli.
Definisi pasar ini sendiri adalah tempat dimana seorang penjual dan pembeli
melakukan akad untuk melaksanakan perdagangan, jadi pasar bukan hanya
pasar-pasar tradisional. Dari penjelasan tersebut bisa kita ambil kesimpulan
bahwa profesi yang disenangi Allah memiliki tantangan yang sulit karena dalam
pasar dapat terjadi tindakan yang tidak sesuai dengan etika berbisnis, seperti
mengurangi timbangan, menutupi cacat barang dagangan, penipuan, berbuat curang
dan lain sebagainya.
Sebagai contoh kasus
sebuah tata cara dagang yang tidak beretika seperti beberapa pedagang
asongan yang seakan memaksa pengemudi angkot untuk membeli barangnya seperti
tisu, air mineral, dll. Mereka terkadang langsung melempar barang dagagannya di
dashboard mobil angkot tanpa si supir meminta. Disini terjadi pemaksaan seorang
pembeli untuk membeli barang yang belum tentu dia butuhkan atau inginkan.
Dengan peaksaan tersebut tentu uang yang didapat pedagang tersebut belum tentu
barokah karena didapat dari hasil memaksa pembeli. Islam menerangkan betapa pentingnya
profesi pedagang tetapi islam memiliki etika dalam menerapkan perdagangan atau
jual beli. Etika harus dihormati dan dipatuhi oleh semua pedagang sehingga
mencapai kemuliyaan dan senatiasa mendapatkan barakah dari apa yang dilakukan.
Beberapa etika berbisnis
dalam islam adalah :
1. Tidak boleh curang dalam jual beli
2. Tidak boleh menutupi cacat barang dagangan dari para
pembeli.
3. Menjelaskan dengan sejelas-jelasnya kebaikan dan
kekurangan barang yang dia jual.
4. Tidak boleh terlalu banyak bersumpah -walaupun
sumpahnya benar- dengan tujuan melariskan dagangannya. Karena terlalu sering
menyebut nama Allah pada jual beli atau pada hal-hal sepele menunjukkan
kurangnya pengagungan dia kepada Allah
5. Haramnya bersumpah dengan sumpah dusta, hanya untuk
melariskan dagangannya.
Hadits Terkait :
1. Dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya
sebaik-baik penghasilan ialah penghasilan para pedagang yang mana apabila
berbicara tidak bohong, apabila diberi amanah tidak khianat, apabila berjanji
tidak mengingkarinya, apabila membeli tidak mencela, apabila menjual tidak
berlebihan (dalam menaikkan harga), apabila berhutang tidak menunda-nunda
pelunasan dan apabila menagih hutang tidak memperberat orang yang sedang
kesulitan.” (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi di dalam Syu’abul Iman, Bab Hifzhu
Al-Lisan IV/221).
2. “Rasulullah SAW melarang sistem jual beli
mulamasah (wajib membeli jika pembeli menyentuh barang dagangan) dan munabadzah
(sistem barter antara dua orang dengan melemparkan barang dagangannya
masing-masing tanpa memeriksanya) (H.R.
Muslim)
3. Dari
Abu Hurairah Radhiallahu anhu dia berkata : “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah
melewati setumpuk makanan, lalu beliau memasukkan tangannya ke dalamnya,
kemudian tangan beliau menyentuh sesuatu yang basah. Maka beliaupun bertanya,
“Apa ini wahai pemilik makanan?” Dia menjawab, “Makanan tersebut terkena air
hujan wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Mengapa kamu tidak meletakkannya di
bagian atas agar manusia dapat melihatnya?! Barangsiapa yang menipu maka dia
bukan dari golonganku.” (HR.
Muslim no. 102)
4. Dari
Abu Qtadah Al-Anshari radhiallahu anhu, bahwa dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
besabda: “Jauhilah oleh kalian banyak bersumpah dalam berdagang, karena dia
(memang biasanya) dapat melariskan dagangan tapi kemudian
menghapuskan(keberkahannya).”(HR.Muslim,no.1607)
F. AKAD TRANSAKSI DALAM ETIKA JUAL BELI
“Hai orang-orang yang
beriman.Sempurnakanlah segala rupa akad yang telah kamu lakukan. Telah
dihalalkan bagimu binatang-binatang berkaki empat (unta, sapi, kerbau, kambing,
biri-biri dan sebagainya), kecuali apa yang akan dibacakan (akan deterangkan
satu persatu) tentang keharamannya pada waktu kamu tidak hala berburu dan kamu
dalam keadaan ihram. Sesungguhnya Allah menetapkan apa yang dikehendaki”(Q.S
Al-Maidah : 1)
Sempurnakanlah berbagai
bentuk akad (janji, kontrak) yang telah kamu akadkan dengan Allah, atau antara
kamu dengan dirimu sendiri, atau antara kamu dengan sesama manusia. Baik berupa
perintah maupun larangan syara’ atau akad diantara kamu, seperti jual beli dan
pernikahan.
Dasar semua akad dalam
islam adalah firman “aufu bil ‘uqudi” yang artinya sempurnakanlah semua rupa
akad. Maka wajib bagi tiap mukmin menyempurnakan akad dan menepati janji,
sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan.Yang penting, akad tidak
berlawanan dengan kehendak syara’.[14][9]
Bila kita memperhatikan
tujuan atau maksud berbagai akad yang terjadi antara dua orang atau lebih, maka
kita dapat membagi berbagai akad tersebut menjadi tiga macam
Pertama: Akad yang bertujuan untuk mencari keuntungan materi, sehingga setiap orang
yang menjalankan akad ini senantiasa sadar dan menyadari bahwa lawan akadnya
sedang berusaha mendapatkan keuntungan dari akad yang ia jalin.
Pada akad ini biasanya
terjadi suatu proses yang disebut dengan tawar-menawar. Sehingga setiap orang
tidak akan menyesal atau terkejut bila dikemudian hari ia mengetahui bahwa
lawan akadnya berhasil memperoleh keuntungan dari akad yang telah terjalin
dengannya. Syari’at Islam pada prinsipnya membenarkan bagi siapa saja untuk
mencari keuntungan melalui akad macam ini.
Contoh nyata dari akad
macam ini ialah akad jual-beli, sewa-menyewa, syarikat dagang, penggarapan
tanah (musaqaah), dll.
Kedua: Akad yang bertujuan untuk memberikan perhargaan, pertolongan, jasa baik
atau uluran tangan kepada orang lain. Dengan kata lain, akad-akad yang bertujuan
mencari keuntungan non materi.
Biasanya yang menjalin
akad macam ini ialah orang yang sedang membutuhkan bantuan atau sedang terjepit
oleh suatu masalah. Oleh karena itu, orang yang menjalankan akad ini tidak rela
bila ada orang yang menggunakan kesempatan dalam kesempitannya ini, guna
mengeruk keuntungan dari bantuan yang ia berikan.
Karena tujuan asal dari
akad jenis ini demikian adanya, maka syari’at Islam tidak membenarkan bagi
siapapun untuk mengeruk keuntungan darinya.
يَمْحَقُ اللّهُ الْرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللّهُ لاَ يُحِبُّ كُلَّ
كَفَّارٍ أَثِيمٍ
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.Dan
Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu
berbuat dosa.” (Qs. Al-Baqarah: 276)
Pada ayat ini Allah
Ta’ala mengancam para pemakan riba dan kemudian dilanjutkan dengan menyebutkan
ganjaran yang akan diterima oleh orang yang bersedekah. Ini adalah isyarat bagi
kita bahwa praktek riba adalah lawan dari shadaqah. Isyarat ini menjadi semakin
kuat bila kita mencermati ayat-ayat selanjunya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَذَرُواْ مَا بَقِيَ مِنَ
الرِّبَا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ . فَإِن لَّمْ تَفْعَلُواْ فَأْذَنُواْ بِحَرْبٍ
مِّنَ اللّهِ وَرَسُولِهِ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُؤُوسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ
وَلاَ تُظْلَمُونَ . وَإِن كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَن
تَصَدَّقُواْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِنكُنتُمْ تَعْلَمُون
“Hai orang-orang yag beriman, bertakwalah kepada Allah
dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang
beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka
ketahuilah bahwa Allah dan Rasulnya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat
(dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan
tidak (pula) dianiaya.Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka
berilah tangguh sampai dia berkelapangan.Dan menyedekahkan (sebagian atau semua
utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (Qs. Al-Baqarah: 278-280)
Oleh karena itu dinyatakan dalam satu kaidah yang sangat masyhur dalam ilmu
fiqih:
كل قرض جر نفعا فهو ربا
“Setiap piutang yang mendatangkan keuntungan, maka itu
adalah riba.”
Contoh nyata dari akad
macam ini ialah: akad hutang-piutang, penitipan, peminjaman, shadaqah, hadiyah,
pernikahan, dll.
Ketiga: Akad yang berfungsi sebagai jaminan atas hak yang terhutang. Dengan
demikian, akad ini biasanya diadakan pada akad hutang-piutang, sehingga tidak
dibenarkan bagi pemberi piutang (kreditur) untuk mengambil keuntungan dari
barang yang dijaminkan kepadanya. Bila kreditur mendapatkan manfaat atau
keuntungan dari piutang yang ia berikan, maka ia telah memakan riba,
sebagaimana ditegaskan pada kaidah ilmu fiqih di atas.
Ditambah lagi, harta
beserta seluruh pemanfaatannya adalah hak pemiliknya, dan tidak ada
seseorangpun yang berhak untuk menggunakannya tanpa seizin dan kerelaan dari
pemiliknya.
لا يحل مال امرئ مسلم إلا بطيب نفس منه. رواه أحمد والدارقطني والبيهقي، وصححه
الحافظ والألباني
“Tidaklah halal harta seorang muslim kecuali dengan
dasar kerelaan jiwa darinya.” (Riwayat Ahmad, Ad
Daraquthny, Al Baihaqy dam dishahihkan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar dan Al Albany)
Dikecualikan dari
keumuman hukum ini, bila keuntungan tersebut dipersyaratkan ketika akad jual
beli atau sewa-menyewa atau akad serupa dengan keduanya [2] yang
dilakukan dengan pembayaran dihutang. (Baca Majmu’ Fatwa Al Lajnah Ad Daimah
14/176-177, fatwa no: 20244)
Misalnya: Bila A
menjual mobil kepada B seharga Rp 50.000.000,- dan dibayarkan setelah satu
tahun, dengan jaminan sebuah rumah. Dan ketika akad penjualan sedang
berlangsung, A mensyaratkan agar ia menempati rumah tersebut selama satu tahun
hingga tempo pembayaran tiba, dan B menyetujui persyaratan tersebut, maka A
dibenarkan untuk menempati rumah milik B yang digadaikan tersebut. Karena
dengan cara seperti ini, sebenarnya A telah menjual mobilnya dengan harga Rp
50.000.000,- ditambah ongkos sewa rumah tersebut selama satu tahun.
Adapun bila akad
penjualan telah selesai ditandatangani, maka tidak dibenarkan bagi A untuk
menempati rumah tersebut, baik seizin B atau tanpa seizin darinya, sebab bila
ia memanfaatkan rumah tersebut, berarti ia telah mendapat keuntungan dari
piutang dan itu adalah riba, sebagaimana ditegaskan pada kaedah ilmu fiqih di
atas.
Diantara akad yang
tergolong kedalam kelompok ini ialah akad pegadaian (rahnu), jaminan (kafalah),
persaksian (syahadah) dll.[15][10]
G. ASAS-ASAS JUAL BELI
Transaksi ekonomi maksudnya adalah perjanjian atau akad dalam bidang
ekonomi. Misalnya pada kegiatan jual beli, sewa menyewa, upah mengupah, ataupun
kerjasama di bidang pertanian dan perdagangan.
Dalam buku Ensiklopedia Islam jilid 3, halaman 246 dijelaskan bahwa
dalam setiap transaksi ada beberapa prinsip dasar yang diterapkan oleh Syara'
(hukum islam), yaitu :
1.
Setiap transaksi pada dasarnya mengikat orang (pihak) yang melakukan transaksi.
Kecuali apabila transaksi itu menyimpang dari hukum syara' misalnya adalah
memperdagangkan barang haram. Pihak-pihak yang bertransaksi harus memenuhi
kewajiban yang telah disepakati dan tidak boleh saling mengkhianati. (Dalam
Q.S. Al-Ma'idah, 5: 1)
“ Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu[388]. Dihalalkan
bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian
itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji.
Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya “.
2.
Syarat-syarat transaksi dirancang dan dilaksanakan secara bebas tetapi penuh
dengan tanggung jawab, dan tidak menyimpang dari hukum syara' dan adab sopan
santun.
3.
Setiap transaksi dilakukan dengan sukarela, tanpa ada paksaan dari pihak
manapun. (Dalam Q.S. An-Nisa' 4: 29)
29. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku
dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu[287];
Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
4.
Islam mewajibkan agar setiap transaksi dilandasi denagn niat yang baik dan
ikhlas karena Allah SWT, shingga terhindar dari segala bentuk penipuan dan
kecurangan. Nabi Muhammad SAW menyebutkan bahwa:
“Aku (Raslullah) melarang jual beli yang mengandung unsur penipuan.” (H.R
Muslim)
5.
'Urf (adat kebiasaan) yang tidak menyimpang dari hukum syara' boleh digunakan
untuk menentukan batasan atau kriteria-kriteria dalam transaksi. Misalnya dalam
akad sewa-menyewa rumah. Menurut kebiasaan setempat, kerusakan rumah sewaan
merupakan tanggung jawab penyewa. Maka dari itu,pihak yang menyewakan boleh
menuntut penyewa untuk memperbaiki rumah sewaannya. Tapi, pada saat transaksi
atau terjadinya akad, kedua belah pihak telah sama-sama mengetahui kebiasaan
tersebut dan menyepakatinya.[16][6]
H.
SYARAT-SYARAT
JUAL BELI
Hadis
ke 23
عن جابربن عبدالله انه كان
يسيرعلى جمل له قد اعيا فاراد ان يسيبه فال فلحقنى النبي صلى الله عليه وسلم فد
عالي وضربه فسار سير الم يسر مثله قال بعنيه
بو قية قلت لا ثم بيعنه فبعته بوقية واستثنيت عليه حملانه الى اهلي فلما
بلغت
اتيته باالجمل فنقدني ثمنه ثم رجعت فار سل في اثري فقال اتراني ما
كستك لاخد جملك خد جملك ودراهمك فهو لك “Dari Jabir bin Abdullah Radhiyaullahu
Anhuma, bahwa dia mengendari seekor unta, lalu unta itu menjadi lemas, sehingga
dia hendak melepasnya. Dia berata, ‘Lalu nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam
menghampiriku, berdoa bagiku dan menepuk untaku, sehingga ia dapat berjalan
dengan cara berjalan yang tidak pernah dia lakukan seperti itu saa sekali.
‘Lalu beliau bersabda, ‘Jualaah unta ini kepadaku sehrga satu uqiyah’. Aku
berkata, ‘Tidak’. Kemudian beliau bersabda lagi, ‘Juallah ia kepadaku’. Maka
akupun menjualanya kepada beliau seharga satu uqiyah dan aku meminta
pengecualian untuk tetap membawanya hingga tiba ditengah keluargaku. Setelah
aku tiba aku menemui beliau sambil membawa unta lalu beliau membayar harganya,
kemuadian aku pulangس Ternyata beliau mengirim utusan untuk
menyusulku, lalu bersabda, ‘Apakah engkau mengira aku membujukmu agar aku dapat
mengambil untamu ? Ambilah untamu dan juga dirhamu, karena ia milikmu.
“(HR.BUKHARI-MUSLIM)
Hadis
ke 24
عن ابي هريرة رضي الله عنه قال نهى رسول الله عليه وسلم ان يبيع حاضر
لباد ولا ثنا جشوا ولا يبيع الرجل على اخيه ولا يخطب على خطبة اخيه ولا تسال
المراة طلاق اختها لتكفا ما في انا ئها
“Dari Abu Hurairah Radhiyaullahu Anhu, Dia berkata, ‘Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wa Sallam melarang orang kota menjual bagi orang dusun,
janganlah kalian saling memainkan harga lewat calo, janganlah seseorang menjual
barang yang dijual saudarnya, janganlah melamar orang yang sudah dilamar
saudaranya, dan janganlah seorang wanita meminta talak saudarinya agar dia
dapat menumpahkan apa yang ada dalam bejananya’. “(HR BUKAHRI-MUSLIM)
Kesimpulan
Hadis
Uraian tentang orang kota menjual
barang bagi orang desa, percaloan, dan menjual barang yang dijual saudaranya,
Sudah disampaikan dalam hadis diatas. Kesimpulannya sebagai berikut :
1.
Pengharaman
melamar orang yang sudah dilamar saudaranya, hingga diketahui bahwa pelamar itu
ditolak dan tidak disukai, karena lamaran diatas lamaran dapat menimbulkan
permusuhan dan kebencian serta sangat potensial memutuskan rezeki.
2.
Pengharaman
seorang wanita meminta kepada suami untuk menceraikan madunya atau
membangkitkan kemarahan suami kepada madunya atau memancing percekcokan
diantara keduanya, agar terjadi keributan diantara keduanya, sehingga suami
menceraikan madunya. Hal ini haram, karena disana ada kerusakan yang besar,
mengakibatkan permusuhan, perselisihan, memutuskan rezeki, yang digambarkan
dengan menumpahkan kebaikan yang ada dalam bejananya, sebabnya adalah
pernikahan serta kewajiban-kewajiban lain seperti nafkah, pakaian dan hak-hak
hubungan suami-istri. Ini merupakan hukum-hukum yang agung dan adab yang
tinggi, untuk mengatur keadaan msyarakat, menjauhkannya dari sebab-sebab
keburukan, permusuhan dan kebencian, sehingga diisi cinta, kasih sayang,
perdamaian dan kebersamaan[17]
Syarat
dalam jual beli terbagi ke dalam dua :
1.
Syarat yang sah
2.
Syarat yang rusak (tidak sah)
Pertama:
Syarat yang sah adalah syarat yang tidak bertentangan dengan konsekuensi akad
Syarat
semacam ini harus dilaksanakan karena sabda Rasululloh shallahllahu ‘alaihi
wasallam, yang artinya: ”Orang-orang muslim itu berada di atas
syarat-syaratmereka.” (Hadits Hasan Sahih dalam Sahih Abu Dawud No. 2062)
Dan
karena pada asalnya syarat-syarat itu sah kecuali jika dibatalkan dan dilarang
oleh Syariat Islam.
Syarat
jual-beli yang sahih mempunyai dua macam:
1.
Syarat untuk kemaslahatan akad.
Yaitu
syarat yang akan menguatkan akad dan akan memberikan maslahat bagi orang yang
memberikan syarat, seperti disyaratkannya adanya dokumen dalam pegadaian atau
disyaratkannya jaminan, hal seperti ini akan menenangkan penjual. Dan juga
seperti disyaratkannya menunda harga atau sebagian harga sampai waktu tertentu,
maka ini akan berfaedah bagi si pembeli. Apabila masing-masing pihak
menjalankan syarat ini maka jual beli itu harus dilakukan, demikian pula kalau
seorang pembeli mensyaratkan barang dengan suatu sifat tertentu seperti
keadaanya harus dari jenis yang baik, atau dari produk si A, karena selera
berbeda-beda mengikuti keadaan dari barang tersebut.
Apabila
syarat barang yang dijual telah terpenuhi maka wajiblah menjualnya. Akan tetapi
jika syarat tersebut tidak sesuai dengan yang dikehendaki, maka bagi pembeli
berhak untuk membatalkan atau mengambilnya dengan meminta ganti rugi dari
syarat yang hilang (yaitu dengan menuntut harga yang lebih murah, pent), dan
juga pembeli bersedia membayar adanya perbedaan dua harga jika si penjual
memintanya (dengan harga yang lebih tinggi jika barangnya melebihihi syarat
yang diminta, pent)
2.
Syarat yang sah dalam jual beli.
Yaitu
seorang yang berakad mensyaratkan terhadap yang lainnya untuk saling memberikan
manfaat yang mubah dalam jual beli, seperti penjual mensyaratkan menempati
tempat penjualan selama waktu tertentu, atau dibawa oleh kendaraan atau hewan
jualannya sampai ke suatu tempat tertentu. Sebagaimana riwayat Jabir
radhiyallahu anhu bahwa, yang artinya: “Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam
menjual seekor unta dan mesyaratkan menungganginya sampai ke Madinah” (Mutafaq
‘alaihi).
Hadits ini menunjukan bolehnya menjual hewan tunggangan dengan
pengecualian (syarat) mengendarainya sampai ke suatu tempat tertentu, maka
diqiyaskanlah perkara yang lainnya kepadanya. Demikian pula kalau seandainya
pembeli mensyaratkan kepada penjual agar penjual melakukan pekerjaan tertentu
atas penjualannya seperti membeli kayu bakar dan mensyaratkan kepada penjualnya
untuk membawanya ke tempat tertenu, atau membeli darinya pakaian dengan syarat
dia menjahitkannya.
Kedua:
Syarat yang rusak (tidak sah)
Jenis
ini juga terdiri dari beberapa macam :
1.
Syarat yang rusak dan membatalkan pokok akad itu sendri
Misalnya
salah seorang dari keduanya (penjual dan pembeli) mensyaratkan dengan syarat
yang lain terhadap yang lainnya, seperti mengatakan Aku jual barang ini dengan
syarat engkau memberiku ganjaran berupa rumahmu atau mengatakan Aku jual barang
ini kepadamu dengan syarat engkau mengikutsertakan aku dalam pekerjaamu atau di
rumahmu. Atau juga mengatkaan Aku jual barang ini seharga ini, dengan syarat
engkau meminjamiku sejumlah uang, maka syarat ini rusak (tidak sah), dan
membatalkan pokok akad itu sendiri, karena larangan Nabi Shalallahu ‘alaihi
Wasallam terhadap dua jualan diatas penjualan (disahihkan oleh Al Albany dalam
Misykatul Mashabih, N0. 2798), sedang Imam Ahmad rahimahullah menafsirkan
hadits tersebut dengan apa yang kami sebutkan.
2.
Syarat yang rusak dalam jual beli
Yaitu yang membatalkan akad itu sendiri akan tetapi tidak
membatalkan jual beli. seperti pembeli mensyaratkan terhadap penjual jika dia
rugi terhadap barang dagangannya, dia akan mengembalikannya kepadanya. Atau
penjual mensyaratkan kepada pembeli untuk tidak menjual barang dan yang
sejenisnya. Maka syarat ini rusak karena menyelisihi konsekuensi akad yaitu pembeli
mempunyai hak mutlak terhadap penggunaan barang. Disamping itu karena sabda
Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, yang artinya: “barangsiapa mensyaratkan suatu
syarat yang tidak terdapat dalam Kitab Allah maka syarat itu bathil, meskipun
ada seratus syarat” (Mutafaq ‘alaihi). Adapun yang dimaksud dengan Kitab Alloh
di sini adalah hukumnya, maka termasuk padanya adalah Sunnah Rasululloh
shalallahu ‘alaihi wasallam.
Jual beli tidaklah menjadi batal dengan batalnya syarat ini, karena
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam kisah Barirah (Maula Aisyah
Radhiyallahu ‘anha) ketika penjualnya mensyaratkan loyalitas dari Barirah harus
kepadanya (penjual) jika dia dibebaskan, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
membatalkan syarat ini, akan tetapi tidak membatalkan dari akad (jual belinya),
dan beliau bersabda, yang artinya: “Sesungguhnya perwalian (loyalitas) itu bagi
yang membebaskannya” (Shahih Al Jami’ : 2226)
Maka
semestinya bagi seorang muslim yang sibuk dengan urusan jual beli untuk
mempelajari hukum-hukum jual beli menyangkut sah tidaknya syarat-syarat jual
beli, sehingga dia berada di atas bashirah (ilmu) dalam mu’amalahnya, sehingga
akan terputuslah jalan pertentangan dan perselisihan diantara muslimin. Karena
kebanyakan pertentangan dan perselisihan tumbuh dari kebodohan penjual dan
pembeli atau salah satu dari keduanya terhadap hukum jual beli, serta mereka
membuat syarat-syarat yang rusak (tidak sah)
(Sumber
Rujukan: Syarat-Syarat Jual Beli Dan Hukumnya, Oleh Syaikh Shaleh bin Fauzan
Abdullah Alu Fauzan)
Ada tiga syarat yang
berkaitan dengan orang yang melakukan akad jual beli:
Pertama: Ridho antara penjual dan pembeli
Jual beli tidaklah sah
jika di dalamnya terdapat paksaan tanpa jalan yang benar. Jual beli baru sah
jika ada saling ridho di dalamnya sebagaiamana firman Allah Ta’ala,
إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
“kecuali dengan
jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka (saling ridho) di antara
kalian” (QS. An Nisa’: 29).
Dari Abu Sa’id Al
Khudri, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ
“Sesungguhnya jual
beli dituntut adanya keridhoan” (HR. Ibnu Majah no. 2185. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Namun jika ada
pemaksaan dalam jual beli dengan cara yang benar, semisal seorang hakim
memutuskan untuk memaksa menjual barang orang yang jatuh pailit untuk melunasi
utang-utangnya, maka semisal itu dibolehkan.
Kedua: Orang yang melakukan akad jual beli diizinkan untuk membelanjakan harta.
Mereka yang diizinkan
adalah: (1) merdeka, (2) mukallaf (telah terbebani syari’at), (3) memiliki
sifat rusydu (dapat membelanjakan harta dengan baik). Sehingga anak
kecil, orang yang kurang akal (idiot) dan tidak bisa membelanjakan harta dengan
benar, juga orang gila tidak boleh melakukan jual beli, begitu pula dengan
seorang budak kecuali dengan izin tuannya.
Catatan: Rusydu
menurut mayoritas ulama ada ketika telah mencapi masa baligh. Ketika telah
mencapai baligh atau telah tua renta belum memiliki sifat rusydu, maka
keadaannya di-hajr, yaitu dilarang untuk melakukan jual beli. Sifat rusydu
ini datang bersama masa baligh, namun pada sebagian orang sifat rusydu
ini datang telat, ada yang sebentar atau lama setelah baligh (Lihat Al Mawsu’ah
Al Fiqhiyyah, 22: 212-214).
Ketiga: Orang yang melakukan akad adalah sebagai pemilik barang atau alat tukar,
atau bertindak sebagai wakil.
Hakim bin Hizam pernah
bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
يَا رَسُولَ اللَّهِ يَأْتِينِي الرَّجُلُ فَيَسْأَلُنِي الْبَيْعَ لَيْسَ
عِنْدِي أَبِيعُهُ مِنْهُ ثُمَّ أَبْتَاعُهُ لَهُ مِنْ السُّوقِ قَالَ لَا تَبِعْ
مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
“Wahai Rasulullah,
ada seseorang yang mendatangiku lalu ia meminta agar aku menjual kepadanya
barang yang belum aku miliki, dengan terlebih dahulu aku membelinya dari pasar?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Janganlah engkau menjual
sesuatu yang tidak ada padamu.” (HR. Abu Daud no. 3503, An Nasai no. 4613,
Tirmidzi no. 1232 dan Ibnu Majah no. 2187. Syaikh Al Albani mengatakan hadits
ini shahih).
Di antara salah satu
bentuk dari menjual belikan barang yang belum menjadi milik kita ialah menjual
barang yang belum sepenuhnya diserahterimakan kepada kita, walaupun barang itu
telah kita beli, dan mungkin saja pembayaran telah lunas. Larangan ini
berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنِ ابْتَاعَ طَعَامًا فَلاَ يَبِعْهُ حَتَّى يَسْتَوْفِيَهُ
“Barangsiapa yang
membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai
menerimanya.” Ibnu ‘Abbas mengatakan,
وَأَحْسِبُ كُلَّ شَىْءٍ مِثْلَهُ
“Aku berpendapat
bahwa segala sesuatu hukumnya sama dengan bahan makanan.” (HR. Bukhari no.
2136 dan Muslim no. 1525).
Ibnu ‘Umar mengatakan,
وَكُنَّا نَشْتَرِى الطَّعَامَ مِنَ الرُّكْبَانِ جِزَافًا فَنَهَانَا رَسُولُ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ نَبِيعَهُ حَتَّى نَنْقُلَهُ مِنْ مَكَانِهِ.
“Kami biasa membeli
bahan makanan dari orang yang berkendaraan tanpa diketahui ukurannya. Kemudian
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami menjual barang tersebut sampai
barang tersebut dipindahkan dari tempatnya” (HR. Muslim no. 1527).
Dalam riwayat lain,
Ibnu ‘Umar juga mengatakan,
كُنَّا فِى زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَبْتَاعُ
الطَّعَامَ فَيَبْعَثُ عَلَيْنَا مَنْ يَأْمُرُنَا بِانْتِقَالِهِ مِنَ الْمَكَانِ
الَّذِى ابْتَعْنَاهُ فِيهِ إِلَى مَكَانٍ سِوَاهُ قَبْلَ أَنْ نَبِيعَهُ.
“Kami dahulu di
zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan. Lalu
seseorang diutus pada kami. Dia disuruh untuk memerintahkan kami agar
memindahkan bahan makanan yang sudah dibeli tadi ke tempat yang lain, sebelum
kami menjualnya kembali” (HR. Muslim no. 1527).
Bentuk serah terima di
sini tergantung dari jenis barang yang dijual. Untuk rumah, cukup dengan nota
pembelian atau balik nama; untuk motor adalah dengan balik nama kepada pemilik
yang baru; barang lain mesti dengan dipindahkan dan semisalnya.
Bentuk pelanggaran
dalam syarat jual beli ini adalah seperti yang terjadi dalam jual beli kredit
dengan deskripsi sebagai berikut:
Pihak bank menelpon showroom
dan berkata “Kami membeli mobil X dari Anda.” Selanjutnya pembayarannya
dilakukan via transfer, lalu pihak bank berkata kepada pemohon: “Silakan Anda
datang ke showroom tersebut dan ambil mobilnya.”
Bank pada saat itu
menjual barang yang belum diserahterimakan secara sempurna, belum ada pindah
nama atau pemindahan lainnya. Ini termasuk pelanggaran dalam jual beli seperti
yang diterangkan dalam hadits Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar di atas.
I. Hadits Tentang Larangan jual beli Mulamasah, Mudzabanah, dan Muhakolah
و عن ابى سعيد قال : نهى رسول الله ص م عن الملامسة والمنابداة فى البيع و
الملامسة لمس الرجل ثوب الاخر بيده باليل او بالنهار ولا يقلبه و المنابدة ان ينبد
الرجل الى الرجل بثوبه وينبد الاخر بثوبه ويكون دلك بيعهما من غير فظر ولا تراض
“Rasulullah melarang jual beli barang secara mulamasah dan munabazah.
Mulamasah, pembeli hanya memegang kain (baik di siang maupun di malam hari)
tanpa dibolak-balik terlebih dahulu. Munabazah, penjual melemparkan kain kepada
pembeli, dan kemudian kembali dilempar kepada penjual. Penjualnya hanya
didasarkan atas saling percaya”. (HR. Al-Bukhary, Muslim; Al-Muntqa II: 319).
“Rasulullahmelarangkitadarimuhaqalah (menjualbuah yang
masihdalamtandannya), mukhasarah (menjualbuah-buahan yang belumdapatdimakan),
munabazah, mulamasahdanmuzabanah (menjualbuah-buahandengankurmasecarasukatan)”
Hadits tersebut menunjukkan bahwa cara penjualan muhaqalah, mukhalash,
munabazah, mulamasah dan mubazanah dilarang. Penjualan gharar (yang mengandung
unsur tipuan), seperti menjual ikan yang masih dalam kolam, menjual burung yang
masih berada di angkasa. Hal ini disepakati masuk kedalam bagian menjual barang
yang belum ada, menjual sesuatu yang belum diketahui, menjual budak yang belum
dilihat dan setiap penjualan yang
mungkin dapat menipu pembeli.[18][11]
J. Jual Beli Ijon
عن ابى عمر ان النبى ص م نهى عن بيع التجارحتى يبدو صلاحها. نهى البائع
والمبتاع
“Bahwasanya Nabi saw melarang kita menjual buah-buahan sebelum nyata baik
(matang)nya. Larangan tersebut berlaku terhadap sipenjual dan sipembeli”. (HR.
Al-Jamaah selain At-Turmudzy; Al-Muntaqa II:331)
و عن انس, ان النبى ص م نهى عن بيع الثمرة حتى تزهى. قالوا : وما تزهى ؟ قال
"تحمر". وقال ادا منع الله الثمرة فبم تستحل مال اخيك ؟
“Bahwasanya Nabi saw melarang kita menjual buah-buahan (korma) sehingga berwarna
merah. Para sahabat bertanya tentang arti izhak, maka Nabi menjawab “berwarna
merah”. Dan Nabi bersabda pula :apabila Allah menimpakan bencana atas buah itu,
maka dengan apa engkau menghalalkan harta saudaraengkau”. (HR. Al-Bukharydan
Muslim; Al-Muntaqa II: 331)
Hadis tersebut menyatakan bahwa tidak boleh menjual buah-buahan sebelum
nyata merahnya. Karena apabila kemudian ternyata buah-buahan tersebut gagal
menjadi buah (busuk) tentulah akan menimbulkan kerugian bagi pihak pembeli.
Dhahir hadis ini menyatakan bahwa menjual sesudah buahnya baik (matang)
adalah sah. Baik disyaratkan buah itu tetap dibatangnya sampai dipetiknya
ataupun tidak. Larangan menjual sesuatu dengan memakai syarat tidak dapat
diterapkan disini. Bahkan hadits sendiri menandaskan bahwa yang demikian itu
boleh, jika disyaratkan oleh pembeli maupun penjual. Mengenai
memperjual-belikan tanaman yang sudah hijau, asal disyaratkan bahwa tanaman itu
dipotong oleh pembeli dibolehkan. Ibnu Hazm membolehkannya tanpa syarat, karena
larangan hanya mengenai biji-bijian seperti padi. Jelasnya,hadis ini melarang
kita menjual biji seperti padi sebelum keras bijinya dan menjual tungkul
berwarna putih.[19][12]
K. Jual Beli Wafa'
1.
Pengertian Jual Beli Wafa’
Jual beli dengan
peryaratan saling mengembalikan hak pihak lain. Yakni disaat penjual
mengembalikan uang si pembeli, si pembeli juga akan mengembalikan barang si
penjual. Disebut sebagai jual beli wafa’ (pelunasan), karena ada semacam
perjanjian dari si pembeli untuk melunasi hak penjual, yakni mengembalikan
barangnya, kalau si penjual mengembalikan uang bayarannya.
Dalam jual beli ini
terdapat hukum-hukum jual beli, misalnya si pembeli boleh memanfaatkan barang
dagangannya dengan penggunaan dan pemanfaatkan yang benar. Ia bisa
menggunakannya untuk diri sendiri dan memanfaatkannya untuk disewakan
tanpa izin si penjual. Jual beli ini
juga mengandung hukum pegadaian.
2. Hukum dari jual beli wafa’
Para ulama berbeda
pendapat tentang hukum jual beli wafa’ ini.
Diantara ulama ada yang
menganggapnya sebagai jual beli yang sah, karena ia dibutuhkan. Kebutuhan
kadang bisa menempati kedudukan (sama hukumnya dengan) kondisi darurat.
Diantara mereka ada
yang menganggapnya sebagai pegadaian yang sah, sehingga hukum-hukum pegadaian
berlaku didalamnya.
Diantara ulama ada juga
yang menganggapnya sebagai jual beli yang rusak, karena adanya syarat saling
mengembalikan.
Ada juga diantara ulama
yang memandangnya sebagai jual beli model baru yang menggabungkan antara jual
beli sah, jual beli rusak dan pegadaian. Namun tetap dianggap sebagai jual beli
yang disyariatkan karena kebutuhan.
Yang benar, bahwa jual
beli semacam itu tidak dibenarkan, karena tujuan yang sebenarnya adalah riba,
yakni dengan cara memberikan uang untuk dibayar secara tertunda, sementara
fasilitas penggunaan barang yang digunakan dalam perjanjian dan sejenisnya
adalah keuntungannya.[20][13]
L. Jual Beli Ghoror
Jualbeli ghoror adalah
jual-beli barang yang mengandung kesamaran. Hal itu dilarang dalam Islam sebab
Rosulullah bersabda:
لا تشترو االسمك فى الماء فاءنه غرور
“ janganlah kamu
membeli ikan di dalam air, karena jual beli sepertui itu termasuk gharar(
menipu )” ( HR.Ahmad)
Menurut Ibn Jazi Al-Maliki, gharar yang dilarang ada 10
(sepuluh) macam, yaitu :
1. Tidak dapat diserahkan, seperti menjual
anak hewan yang masih dalam kandungannya.
2. Tidak diketahui harga dan barang.
3. Tidak diketahui sifat barang atau
harganya.
4. Tidak diketahui ukuran barang dan
harganya.
5. Tidak diketahui masa yang akan datang,
seperti “saya jual kepadamu jika Zaed datang”.
6. Menghargakan dua kali pada satu barang.
7. Menjual barang yang diharapkan selamat.
8. Jual-beli husha’, misalnya pembeli
memegang tongkat, jika tongkatnya jatuh maka wajib membeli.
9. Jual-beli munabadzanah, yaitu jual-beli
dengan cara lempar-melempari, seperti seseorang melempar bajunya, maka jadilah
jual-beli.
IV.
KESIMPULAN
Jual beli dalam bahasa
arab disebut ba’i yang secara bahasa adalah tukar menukar, sedangkan menurut
istilah adalah tukar menukar atau peralihan kepemilikan dengan cara pergantian
menurut bentuk yang diperbolehkan oleh syara’ atau menukarkan barang dengan
barang atau barang dengan uang, dengan jalan melepaskan hak milik dari
seseorang terhadap orang lainnya atas kerelaan kedua belah pihak. Hukum
melakukan jual beli adalah boleh (جواز) atau (مباح). Jual beli berdasarkan
pertukarannya secara umum dibagi menjadi empat macam :Jual beli salam
(pesanan), Jual beli Muqayyadah (barter), Jual beli Muthlaq, Jual beli alat
penukar dengan alat penukar. Transaksi ekonomi maksudnya adalah perjanjian atau
akad dalam bidang ekonomi. Misalnya pada kegiatan jual beli, sewa menyewa, upah
mengupah, ataupun kerjasama di bidang pertanian dan perdagangan. Jual beli
wafak merupakan Jual beli dengan peryaratan saling mengembalikan hak pihak
lain. Yakni disaat penjual mengembalikan uang si pembeli, si pembeli juga akan
mengembalikan barang si penjual. Disebut sebagai jual beli wafa’ (pelunasan),
karena ada semacam perjanjian dari si pembeli untuk melunasi hak penjual, yakni
mengembalikan barangnya, kalau si penjual mengembalikan uang bayarannya.
Komentar
Posting Komentar