MAKALAH TASAWUF AKHLAQI & AMALI

BAB I

PENDAHULUAN

1.1              Latar Belakang Masalah

Allah menciptakan manusia di muka bumi adalah untuk menjadi kholifah atau pemimpin di muka bumi. Tidak terlepas dari fitrahnya ini, Allah SWT menganugrahkan dua potensi penting dalam diri manusia, yaitu akal dan nafsu.
Segala amal dan usaha di dalam hidup kita adalah dorongan dari fikiran dan nafsu. Di dalam batin lah terletak pertimbangan di antara buruk dan baik, cantik juga jelek. Apakah kebatinan itu? Apakah kerohanian itu?-inilah yang senantiasa menjadi pertanyaan dan penyelidikan dari para ahli sejak dahulu hingga sekarang, dan sampai nanti selama fikiran masih ada pada manusia.
Demi, setelah mencari diri di dalam diri, di dalam menghadapi kesukaran tetapi indah, di dalam menghadapi kesulitan tetapi hendak mencari juga, timbul pulalah bermacam-macam soal lain. Dan soal yang paling penting, dan ibunya segala soal itu ialah soal tentang Yang Ada[1] (Yang Maha Esa).
Ahli-ahli yang mencari cara menuju Yang Maha Esa tersebut menggunakan jalan perasaan, dengan jala Zauq. Berkat kesungguhan hatinya, para ahli merenung di dalam alam rasa, dan puaslah mereka dengan rasa itu. Para ahli inilah yang disebut ahli Tasawuf.
Hidup kerohanian, hidup kebatinan atau tasawuf, sudahlah lama umurnya dan telah ada pada setiap bangsa. Kadang-kaang tasawuf menjadi tempat pulang dari orang yang telah lelah berjalan. Tasawuf menjadi tempat lari dari orang yang terdesak. Tetapi pun Tasawuf telah menjadi penguatkan pribadi bagi orang yang lemah. Dan Tasawuf pun menjadi tempat berpijak yang teguh bagi orang yang telah kehilangan tempat tegak.[2]

Di dunia modern seperti saat ini, pemuda yang digadang sebagai penerus bangsa, dan pemimpin bumi selanjutnya, haruslah mengetahui hakikat dirinya sebagai manusia. Sebagaimana disebutkan diatas mengenai urgensi ilmu Tasawuf, Ilmu ini menjadi dasar yang penting mengingat sikap hidup remaja-remaja kita yang kini sebahagian telah lalai dalam melakukan syariat Islam. Oleh karena itu, dari pemaparan diatas tim penulis akan mengangkat makalah berisi bagian-bagian dari Ilmu tasawuf yang berupa Tasawuf Akhlaqi dan Tasawuf Amali. Dengan penjelasan bagian-bagian Tasawuf tersebut, diharapkan dapat mengarahkan pemuda khususnya mahasiswa teralihkan dari jurang kelalaian ke tingkat ingat kepada Tuhan, sehingga tetap menjadi generasi Islam yang setia menjalankan syariat Islam, dimana Tasawuf merupakan pemupuk Iman, penyubur amal saleh, pengontrol jiwa untuk mengingat dan bertaqwa kepada Allah.

1.2       Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang penulis susun, maka ada beberapa masalah yang akan dirumuskan penulis dalam makalah ini. Rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
  1. Bagaimana pengelompokan tasawuf?
  2. Apa itu tasawuf akhlaqi dan tasawuf amali?
  3. Bagaimana tahapan sistem tasawuf akhlaqi?
  4. Apa saja dan bagaimana tingkatan “takhalli, tahalli, tajalli”?
  5. Bagaimana tahapan sistem tasawuf amali?
  6. Apa yang dimaksud dengan Syariat, Tarekat, Hakekat, dan Ma’rifat? Bagaimana kedudukan dan tingkatannya?

1.3       Tujuan Pembahasan

Berdasarkan permasalahan yang disebutkan pada bagian 1.2 diatas, tujuan pembahasan ini adalah untuk:
1.                  Mengetahui pengelompokan tasawuf
2.                  Mengetahui pengertian tasawuf akhlaqi dan tasawuf amali
3.                  Mengetahui tahapan sistem tasawuf aklaqi
4.                  Mengetahui tingkatan dan pengertian takhalli, tahalli, tajalli
5.                  Mengetahui tahapan sistem tasawuf amali
6.                  Mengetahui pengertian dan kedudukan dari Syari’at, Tarekat, Hakekat, Ma’rifat

1.4       Manfaat Penulisan

            Makalah yang berisi penjelasan bagian-bagian Tasawuf yaitu Tasawuf Akhlaqi dan Tasawuf Amali, diharapkan dapat mengarahkan pemuda khususnya mahasiswa teralihkan dari jurang kelalaian ke tingkat ingat kepada Tuhan, sehingga tetap menjadi generasi Islam yang setia menjalankan syariat Islam, dimana Tasawuf merupakan pemupuk Iman, penyubur amal saleh, pengontrol jiwa untuk mengingat dan bertaqwa kepada Allah

1.5       Sumber Data

Data-data dalam makalah ini adalah data sekunder yang diperoleh dari berbagai macam sumber. Sumber dalam data tersebut adalah dari buku, jurnal, dan internet. Penulis membaca dari buku-buku, jurnal, dan dari Internet untuk mengumpulkan semua informasi yang berkaitan dengan masalah yang terdapat dalam makalah ini yang bertujuan sebagai referensi dalam pembuatan makalah.

1.6       Metode dan Teknik

Dalam penulisan makalah ini, penulis menggunakan metode, yaitu penulis menganalisa data-data dari buku dan internet, untuk mengumpulkan informasi mengenai hal yang terdapat dalam makalah ini.
  

BAB II

PEMBAHASAN

2.1       Landasan Teori

1. Tasawuf Akhlaqi

Dalam diri manusia ada potensi untuk menjadi baik dan potensi untuk menjadi buruk. Potensi untuk menjadi baik adalah al-‘Aql dan al-Qalb. Sementara potensi untuk menjadi buruk adalah an-Nafs. (nafsu) yang dibantu oleh syaithan.
Sebagaimana digambarkan dalam al-Qur’an, surat as-Syams : 7-8 sebagai berikut :
Artinya : “Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya”.
Tasawuf Akhlaqi adalah suatu ajaran yang menerangkan sisi moral dari seorang hamba dalam rangka melakukan taqorrub kepada tuhannya, dengan cara mengadakan Riyyadah[3] pembersihan diri dari moral yang tidak baik, karena Tuhan tidak menerima siapapun dari hamba-Nya kecuali yang berhati salim (terselamatkan dari penyakit hati).

Pokok-pokok dasar yang diletakkan oleh Islam dalam mengatur tata kehidupan dan penghidupan manusia selalu menghendaki kemajuan. Tetapi agar tujuan pembangunan dan kemajuan itu tidak di salah gunakan oleh orang-orang yang hatinya kotor atau gelap, dalam penggunaan mana jangan sampai mengarah kepada pembangunan kebendaan melulu yang dapat menimbulkan hidup berlebih-lebihan, rebutan rezeki, kedudukan, pengaruh, dan kekuasaan.
Maka, kaum shufi mengatur suatu ajaran untuk memperbaiki tata kehidupan dan penghidupan manusia, agar manusia itu menjadi “manusia wara” yang ikhlas dalam beribadah kepada Allah, ikhlas dalam pengabdian melayani masyarakat, dan damai atau berpartisipasi dalam kehidupan. Ajaran itu menurut istilah shufi dinamakan: Takhalli, Tahalli dan Tajalli.[4]

Takhalli

Firman Allah dalam surat As-Syams ayat 9-10 yang artinya “Sesungguhnya berbahagialah orang yang mensucikan jiwanya dan sungguh merugilah orang yang mengotori jiwanya.”

Tahalli

Tahalli berarti mengisi diri dengan sifat-sifat terpuji dan menghiasi hati. Mengisi hati dengan sifat-sifat terpuji disini sama dengan memperbaiki pokok-pokok akhlaq, seperti firman Allah dalam Al-Qur’an Surah An-Nahl ayat 90 yang artinya:
“Bahwa sesungguhnya Allah memerintahkan untuk berlaku adil, berbuat kebajikan, hidup kekeluargaan. Dan melarang kekejian, kemungkaran dan bermusuhan. Bahwa Tuhan mengajarkan kepada kamu sekalian (pokok-pokok akhlaq itu) agar kamu sekaliam menjadi perhatian”[5]

Tajalli

Firman Allah dalam Qur’an Surah An-Nur ayat 25 yang artinya “Allah itu cahaya langit dan bumi”
Atas landasan ayat itu kaum sufi yakin beroleh pancaran Nur Allah, Tajallinya Allah. Demikian Allah Tajalli dengan af’alnya, asmanya, dan zat yang tidak tersembunyi.. “mutajalli min zatihi la yakhafa”
Rasulullah bersabda: “Bahwasanya Allah itu tajalli bagi manusia umumnya, bagi Abu Bakar khususnya.”[6]

2. Tasawuf Amali

a. Syariat

mengerjakan syariat itu diartikan sebagai mengerjakan amal badaniyah daripada segala hukum-hukum:sholat,puasa,zakat dan haji.Tegas nya bahwa syariat itu ialah peraturan-peraturan yang bersumber dari qur’an dan sunah.Sebagai dasar pegangan,qur’an menyebutkan surat al-maidah :48
Artinya:”bahwa Allah menjadikan syariat untuk tiap-tiap uat dan jalan melaksanakanya”.
Dalam syariat,apabila seseorang mengerjakan sholat dan sudah ada wudhu,telah menghadap ke kiblat,bertakbiratul ikhram,membaca fatikhah,ruku’ dan sujud dan sampai dengan taslim,seseorang itu oleh syariat sudah dianggap sholatnya telah sempurna.tujuan utama syariat itu ialah membangun kehidupan manusia atas dasar amar ma’ruf dan nahi mungkar.

b. Tarekat

dan menurut  firman Allah dalam qur’an(S.Al-jin:16)
artinya:”dan bahwa jika mereka tetap(istiqomah)menempuh jalan itu”TAREKAT”sesungguhnya akan kami beri rejeki atau rahmat yang berlimpah-limpah”
maka adanya”tarekat”,ialah suatu sistem tarekat untuk menempuh jalan yang pada akhirnya mengenal dan merasakan adanya Tuhan,dalam keadaan mana seseorang dalam melihat Tuhan dengan mata hatinya(ainul bashirah)yang demikian ini didasarkan atas pertanyaan Ali Bin Abi thalib kepada Rasulullah:
“manakah tarekat yang sedekat-dekatnya mencapai Tuhan?yang dijawab oleh Rosulullah,”tidak lain daripada dzikir pada Allah”.

c. Hakekat

Menurut hakekat,bersih hati dari selain Allah.semuanya itu untuk mencapai ma’arifat terhadap Allah dengan contoh lain dapat kita sebutkan:menurut syari’at,bila seseorang bersholat maka wajib menghadap ke kiblat karena ayat qur’an menebutkan bahwa
Artinya:”hadapkanlah muakmu ke masjidil haram(ka’bah)di Mekah”
Menurut hakekat,bahwa kita menyembah Tuhan seolah-olah Tuhan itu terlihat,berdasarkan hadist:”sembahlah Tuhan mu seakan-akan engkau melihatnya,jika engkau tidak melihatnya,maka bahwa sesungguhya Tuhan melihat kamu’’.

d. Ma’rifat

Bahwa ma’rifat itu merupakan tujuan pokok yakni :mengenal allah yang sebenar benarnya .bahwa ma’rifat mempunyai persambungan langsung antara hakikat .
Selanjutnya ma’rifat adalah mengenal allah untuk siapa di persembahkan segala amal ibadah itu yang dengan khusuk seseorang hamba
Dalam sholat merasa berhadapan dengan allah ,ketka ini perasaan ber musyahdah ber intai-intaian dan bercakap -cakap dengan tuhan  seolah -olah allah berkata :’’innany ana allah’’aku inilah tuhan allah ,maka kehadiran ‘’hati’’ berkata:’’anta allah’’engkaulah allah .lalu allah berkata lagi ‘’iqimis-shalata lizikry’’bersholatlah untuk mengingatkan aku[7]


2.2 Pengertian Tasawuf Akhlaqi

Kata “tasawuf” dalam bahasa Arab adalah bisa “membersihkan” atau “saling membersihkan”. Kata “membersihkan” merupakan kata kerja yang membutuhkan objek. Objek tasawuf adalah akhlak manusia.
Kemudian kata “ahlaq” juga berasal dari bahasa Arab yang secara bahasa bermakna “pembuatan” atau “penciptaan”. Dalam konteks agama, akhlak bermakna perangai, budi, tabiat, adab, atau tingkah laku. Menurut Imam Ghazali, akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa manusia yang melahirkan perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran maupun pertimbangan.
Jadi, jika kata “tasawuf” dengan kata “akhlak” disatukan, akan terbentuk sebuah frase yaitu tasawuf akhlaki. Secara etimologi, tasawuf akhlaki ini bermakna membersihkan tingkah laku atau saling membersihkan tingkah laku.
Isi dari ajaran Tasawuf Akhlaqi adalah, Takhalli, Tahalli, Tajalli.

2.3 Pengertian Takhalli

Takhalli berarti penarikan diri. Sang hamba yang menginginkan dirinya dekat dengan Allah haruslah menarik diri dari segala sesuatu yang mengalihkan perhatiannya dari Allah. Takhalli merupakan segi filosofis terberat, karena terdiri dari mawas diri, pengekangan segala hawa nafsu dan mengkosongkan hati dari segala-galanya, kecuali dari diri yang dikasihi yaitu Allah SWT.
Takhalli juga dapat diartikan sebagai mengkosongkan atau membersihkan diri dari sifat-sifat tercela dan dari kotoran penyakit hati yang merusak. Hal ini akan dapat dicapai dengan jalan menjauhkan diri dari kemaksiatan dengan segala bentuk dan berusaha melepaskan dorongan hawa nafsu jahat. Menurut kelompok sufi, maksiat dibagi menjadi dua : maksiat lahir dan batin. Maksiat batin yang terdapat pada manusia tentulah lebih berbahaya lagi, karena ia tidak kelihatan tidak seperti maksiat lahir, dan kadang-kadang begitu tidak di sadari. Maksiat ini lebih sukar dihilangkan.
Perlu diketahui bahwa maksiat batin itu pula yang menjadi penggerak maksiat lahir. Selama maksiat batin itu belum bisa dihilangkan pula maksiat lahir tidak bisa di bersihkan. Maksiat lahir adalah segala maksiat tercela yang di kerjakan oleh anggota lahir. Sedangkan maksiat batin adalah segala sifat tercela yang dilakukan oleh anggota batin dalam hal ini adalah hati, sehingga tidak mudah menerima pancaran nur Illahi, dan tersingkaplah tabir (hijab) , yang membatasi dirinya dengan Tuhan, dengan jalan sebagai berikut :
a. Menghayati segala bentuk ibadah, sehingga pelaksananya tidak sekedar apa yang terlihat secara lahiriyyah, namun lebih dari itu, memahami makna hakikinya.
b. Riyadhoh (latihan) dan mujahadah (perjuangan) yakni berjuang dan berlatih membersihkan diri dari kekangan hawa nafsu, dan mengendalikan serta tidak menuruti keinginan hawa nafsuny tersebut. Menurut Al-Ghozali, riyadoh dan mujahadah itu adalah latihan dan kesungguhan dalam menyingkirkan keinginan hawa nafsu (shahwat) yang negativ dengan mengganti sifat yang positive.
c. Mencari waktu yang tepat untuk mengubah sifat buruk dan mempunyai daya tangkal terhadap kebiasaan buruk dan menggantikanya dengan kebiasaannya yang baik.
d. Mukhasabah (koreksi) terhadap diri sendiri dan selanjutnya meninggalkn sifat-sifat yang jelek itu. Memohon pertolongan Allah dari godaan syaitan.
2.4 Pengertian Tahalli
Tahalli berarti berhias. Maksutnya adalah membiasakan diri dengan sifat dan sikap serta pebuatan yang baik. Akan tetapi, perhiasan paling sempurna dan paling murni bagi hamba adalah berhias dengan sifat-sifat pengambaan. Penghambaan adalah pengabdian penuh dan sempurna dan sama sekali tidak menampakan tanda-tanda keTuhanan (Rabbaniyyah). Hamba yang berhias (tahalli) dengan penghambaan itu menempati kekekalan dalam dirinya sendiri dan menjadi tiada dalam pengatahuan Allah.
            Berusaha agar dalam setiap gerak prilaku selalu berjalan diatas ketentuan agama, baik kewajiban luar maupun kewajiban dalam atau ketaan lahir maupun batin. Ketaatan lahir maksutnya adalah kewajiban yang bersifat formal, seperti sholat, puasa, zakat, haji, dan lain sebagainya. Sedangkan ketaatan batin seperti iman, ikhsan, dan lain sebagainya.
            Tahalli adalah semedi atau meditasi yaitu secara sistematik dan metodik, meleburkan kesadaran dan pikiran untuk dipusatkan dalam perenungan kepada Tuhan, dimotivasi bahana kerinduan yang sangat dilakukan seorang sufi setelah melewati proses pembersihan hati yang ternoda oleh nafsu-nafsu duniawi .
            Tahalli juga merupakan tahap pengisian jiwa yang telah dikosongkan pada tahap takhalli. Dengan kata lain, sesudah tahap pembersihan diri dari segala sifat dan sikap mental yang baik dapat dilalui, usah itu harus berlanjut terus ketahap berikutnya, yaitu tahalli. Pada perakteknya pengisian jiwa dengan sifat-sifat yang baik setelah dikosongklan dari sifat-sifat buruk, tidaklah berarti bahwa jiwa harus dikosongkan terlbeih dahulu baru kemudian di isi . Akan tetapi, ketika menghilangkan kebiasaan yang buruk, bersamaan dengan itu pula diisi dengan kebiasaan yang baik.
Pada dasarnya jiwa manusia bisa di latih, dikuasai, diubah, dan dibentuk sesuai dengan kehendak manusia itu sendiri. Dari satu latihan akan menjadi kebiasaan dan kebiasaan akan mengahasilkan kepribadian. Sikap mental dan perbuatan lahir yang sangat penting diisikan dalam jiwa dan dibiasakan dalam perbuatan dalam rangka pembentukan manusia paripurna antara lain adalah taubat, sabar, zuhud, twakal, cinta, makrifat, keridhoan, dan sebagainya.
2.5 Pengertian dan Maksud dari Tajalli
Setelah seseorang melalui dua tahap tersebut maka tahap ketiga yakni tajalli, seseorang hatinya terbebaskan dari tabir (hijab) yaitu sifat-sifat kemanusian atau memperoleh nur yang selama ini tersembunyi (Ghaib) atau fana segala selain Allah ketika nampak (tajalli) wajah-Nya.
Tajalli bermakna pecerahan atau penyingkapan. Suatu term yang berkembang di kalangan sufisme sebagai sebuah penjelamaan, perwujudan dari yang tunggal, Sebuah pemancaran cahaya batin, penyingkapan rahasia Allah, dan pencerahan hati hamba-hamba saleh.
Tajalli adalah tersingkapnya tirai penyekap dari alam gaib, atau proses mendapat penerangan dari nur gaib, sebagai hasil dari suatu meditasi. Dalam sufisme, proses tersingkapnya tirai dan penerimaan nur gaib dalam hati seorang mediator disebut Al-Hal, yaitu proses pengahayatan gaib yang merupakan anugrah dari Tuhan dan diluar adikuasa manusia.
Tajalli juga berarti Allah menyingkapkan diri-Nya kepada makhluk-Nya. Penyingkapan diri Tuhan tidak pernah berulang secara sama dan tidak pernah pula berakhir. Penyingkapan diri Tuhan itu berupa cahaya baatiniyah yang masuk ke hati. Apabila seseorang bisa melalui dua tahap tkhalli dan tajalli maka dia akan mencapai tahap yang ke tiga, yakni tajalli, yang berarti lenyap atau hilangnya hijab dari sifat kemanusiaan atau terangnya nur yang selama itu tersembunyi atau fana` segala sesuatu kecuali Allah, ketika tampak wajah Allah. Tajalli merupakan tanda-tanda yang Allah tanamkan didalam diri manusia supaya Ia dapat disaksiakan. Setiap tajalli melimpahkan cahaya demi cahaya sehingga seorang yang menerimanya akan tenggelam dalam kebaikan. Jika terjadi perbedaan yang dijumpai dalam berbagai penyingkapan itu tidak menandakan adanya perselisihan diantara guru sufi. Masing-masing manusia unik, oleh karena itu masing-masing tajalli juga unik. Sehingga tidak ada dua orang yang meraskan pengalaman tajalli yang sama. Tajalli melampaui kata-kata. Tajalli adalah ketakjupan. Al-Jilli membagi tajalli menjadi empat tingkatan .

Tingkatan- Tingkatan Tajalli

1.      Tajalli Af’al
Adapun Tajalli Af’al menurut Kitab Insanul Kamil dikatakan: “Tajallinya Allah dalam Aflannya ialah ibarat daripada penglihatan dimana seseorang hamba Allah melihat padanya berlaku qudrat Allah kepada sesuatu. Ketika itu, ia melihat Tuhan, maka tiadalah fi’il lagi sang hamba. Gerak dan diam serta isbat adalah bagi Allah semata-mata.
Jaid, tajalli af’al adalah nafi’nya atau lenyapnya fi’il daripada seseorang hamba dan isbatnya atau yang ada ialah fi’il Allah semata-mata. Firman Allah yang artinya: “dan Allah jua yang menjadikan kamu dan apa-apa yang kamu perbuat”
2.      Tajalli Asma
Adapun Tajalli Asma adalah fananya seseorang hamba daripada dirinya dan bebasnya daripada genggaman sifat-sifat kebaharuan dan lepasnya ikatannya daripada dirinya atau tubuh kasarnya, ketika itu ia fana ke dalam baqonya Allah, karena telah sucinya ia dari sifat-sifat kebaharuan. Bahwa sesungguhnya Tajalli Asma sebenarnya tiada yang dilihat kecuali zatussarfi, dan bukannya melihat asma. Dalam Insanul Kamil dikatakan:
“Siapa-siapa baginya Tajalli Allah SWT dari segi asmanya yang disebut maka terbukalah baginya daripada nampaknya Nur Ilahi dalam keadaan biasa. Maksudnya agar ia mendapatkan jalan ‘ma’rifah’. Bahwa sesungguhnya Allah ialah pada ketika itu Tajallillah Allah SWT baginya, karena sesungguhnya Allah adalah adz-dzohir. Ketika itu maka bertempatlah hamba pada tempat yang bathin karena fananya sifat-sifat kebaharuannya ketika nampaknya wujud al-haqqu ta’ala yang qadim. Dalam pada ini dapat diambil misal seperti berikut: “Misal untuk itu ialah dengan firman Allah kepada nabi musa, kamu tidak dapat melihat Aku. Artinya sesungguhnya kamu musa, selama kamu ada pada dirimu, maka Aku Allah tiada daripada mu, musa. Dan pada ketika kamu (musa) melihat Aku, maka engkaupun ketika itu kamu tiada.” Tidaklah mungkin bagi yang baharu tetap adanya ketika nampaknya qadim.
Jadi pengertiannya: maka dengn fananya musa, jadilah hamba bersifat tiada. Dan baqo-lah Allah yang bersifat kekal.
3.      Tajalli Sifat
Adapun Tajalli fissifat menurut Kitab Insanul Kamil dikatakan :”Adalah ibarat penerimaan tubuh seseorang hamba Allah berlaku sifat dengan sifat ketuhanan,suatu penerimaan asli dan ketentuan pasti”
Artinya mana kala Allah mengehendaki terjadinya tajalli\hambanya dengan namanya atau sifatnya,maka keadaan itu fanalah atau lenyaplah seseorang hamba pada suatu fana daripada dirinya ketika iyu berubahlah daripada hidupnya manakala telah hilang cahaya keinsanannya dan telah fana ruh kebaharuanya,disitulah Al-haqqu Taala mengambil tempat pada hambanya tanpa hulul daripada zatnya,sebagai pengganti daripada perubahanya hamba itu dari wujudnya,karena sebenarnya tajallinya Allah itu terhadap hambanya adalah ssebagai kurnia daripada Allah
4.      Tajalli Zaat
Bahwa sesungguhnya zat Tuhan itu,menurut keterangan dalam Kitab Insanul Kamil, ialah ibarat daripada “wujud yang mutlak”.selanjutnya dalam Insanul Kamil diterangkan:”perlu diketahui,bahwa zat itu,adalah ibarat dimana bertempat kurnia ketuhanan. Mana kala Allah menghendaki terjadinya tajalli atas hambanya diana hambanya itu telah memfanakan daripada dirinya maka bertempetlah padanya “kurnia ketuhanan”.demikianlah kurnia atau adakalanya sebagai kurnia zat dan akalanya sebagai kurnia sifat.mana kala terjadi kurnia zat,maka disitulah terjadi menjadi “Tunggal Yang Kamil atau sempurna”.maka denagn fananya diri hamba,maka yang tinggal ialah yang baqoq atau Zatullah.dalam pada ini hamba telah berada dalam situasi masia wallah,yakni dalam wujud Allah semata-mata.”tiada wujud secara utlak kecuali Allah “[8]

2.3 Pengertian Tasawuf ‘Irfani (Amali)


Tasawuf ‘Amali adalah tasawuf yang membahas tentang bagaimana cara mendekatkan diri kepada Allah
Tasawuf  Amali atau disebut juga tasawuf ‘Irfani merupakan tasawuf yang berusaha menyikap hakikat kebenaran atau ma’rifah diperoleh dengan tidak melalui logika atau pembelajaran atau pemikiran tetapi melalui pemebirian Tuhan (mauhibah). Terdapat beberapa istilah praktis dalam Tasawuf ‘Amali, yakni syari’at, Thariqat, Hakekat, dan Ma’rifat.

1. Syari’at

Secara umum syaria’t adalah segala ketentuan agama yang sudah ditetapkan oleh Allah untuk hambanya. Bagi orang-orang sufi, syari’at itu ialah amal ibadah lahir dan urusan muamalat mengenai hubungan antara manusia dengan manusia.[9] Definisi lain mengatakan bahwa Syari’at adalah kualitas amal lahir –formal yang ditetapkan dalam ajaran agama melalui Al-qur’an dan sunnah.[10] Sebab itu, dapat dikatakan bahwa syari’at adalah ilmu ibadah yang cenderung hanya menyentuh aspek lahir manusia dan tidak menyentuh aspek batin manusia.
Ath-Thusi dalam Al-Luma’ mengatakan bahwa syari’at adalah suatu ilmu yang mengandung dua pengertian, yaitu riwayah dan dirayah yang berisikan amalan-amalan lahir dan batin.[11] Selanjutnya yang perlu dipahami adalah bahwa apabila syari’at di artikan sebagai ilmu yang riwayah adalah segala macam hukum teoritis yang termaktub dan terurai dalam ilmu fiqih yakni ilmu-ilmu teoritis yang bersifat lahiriah. Sebaliknya, apabila syari’at diartikan sebagai ilmu yang dirayah maka makna dari syari’at itu adalah makna batiniah dari ilmu lahiriah atau dapat disebut dengan makna hakikat dari ilmu fiqih itu sendiri. Sehingga, bila dikaitkan dengan para fuqaha dan sufi yang memiliki perbedaan pandangan, syari’at yang bersifat riwayah adalah macam ilmu yang disebut dengan fiqih, yakni ilmu yang menyentuh aspek lahiriah saja. Sedangkan syari’at yang berkonotasi dirayah adalah ilmu yang sekarang ini dikenal dengan ilmu tasawuf yakni ilmu yang cenderung menyentuh aspek batiniah.
Mengenai syari’at ini para ahli sufi lebih menekankan pada aspek batiniah dari ilmu lahiriah (syari’at) ketimbang para ahli fiqih yang hanya menekankan pada aspek lahiriyah saja. Memang pada dasarnya syari’at adalah simbol hukum yang mengatur kehidupan agama yang bersifat lahiriyah. Namun menurut para sufi hal ini tidak berkaitan dengan kenyataan batin. Kenyataan batin dan iman itu diluar jangkauan dari syari’at (ilmu yang bersifat lahiriah) dan hal ini hanya dapat dilihat dan dimengerti dengan jalan sufi.
Syariat membagi ma’ruf dalam tiga kategori:
1.      Fardhu atau wajib
2.      Sunnat atau mustahab
3.      Mubah atau harus
Selanjutnya Syariat membagi munkarat atas dua kategori yaitu Haram dan Makruh
Petunjuk-petunjuk tersebut di atas memberi pegangan yang kuat bagi setiap manusia untuk dapat pengertian bagi setiap manusia untuk dapat pengertian dalam membedakan: mana yang baik dan mana yang buruk, mana benar mana yang salah. Petunjuk-petunjuk itu mengikat manusia sebagai kewajiban morel dalam segala sikap hidupnya.
Dalam mengerjakan wajib, sunnat, kebaikan, kebenaran, dianggap sebagai suatu kewajiban morel untuk mengerjakannya yang kelak akan mendapat pahala dan balasannya ialah surga.
Dalam mengerjakan: haram, makruh, kemaksiatan, atau kejahatan, semuanya itu dipandang sebagai dosa dan balasannya ialah neraka.
Peraturan-peraturan yang diatur oleh syariat seperti tersebut di atas, adalah atas dasar Qur’an dan Sunnah yang merupakan sumber-sumber hukum dalam Islam, untuk keselamatan manusia. Tetapi menurut ahli sufi, bahwa syariat itu baru merupakan tingkat pertama dalam menuju jalan kepada Tuhan. [12]

2. Tarekat

Thariqat menurut istilah tasawuf adalah jalan yang harus ditempuh oleh seorang sufi dalam mencapai tujuan berada sedekat mungkin dengan Tuhan.[13] Thariqat adalah jalan yang ditempuh para sufi dan digambarkan sebagai jalan yang berpangkal dari syari’at, sebab jalan utama disebut syar’, sedangkan anak jalan disebut dengan thariq.[14] Oleh sebab itu dapat disimpulkan bahwa thariqat adalah cabang dari syari’at yang merupakan pangkal dari suatu ibadah. Hal ini dapat pula digambarkan bahwa tidak mungkin adanya suatu ibadah yang dilakukan tanpa adanya perintah yang mengikat. Sehingga untuk menempuh anak jalan yang menuntun kepada hakikat tujuan ibadah harus mengerti terlebih dahulu akar atau pangkal dari jalan tersebut, yaitu syari’at (landasan hukum). Sehingga dapat digambarkan bahwa jalan-jalan tersebut terbagi kedalam tiga batasan antara manusia dan teologis, yakni syari’at, thariqat dan hakikat.
Sebuah hadis qudsi yang menyatakan: “Adakah aku suatu perbendaharaan yang tersembunyi, maka ku jadikanlah makhluk: Maka dengan Allah mereka mengenal Aku.”
Dalam pada ini, menurut aliran Tarekat ini, bahwa Allah adalah permulaan kejadian yang awalnya tidak ada permulaan. Allah saja telah ada dan tidak ada lain sertanya. Dan ingin supaya zatnya dilihat pada sesuatu yang bukan zatnya, sebab itulah dijadikannya segenap kejadian (Al-Khalik). Maka adalah alam ini laksana kaca yang terang benderang yang disana dapat dilihat zat Allah.
Selanjutnya mereka berpendapat: Bahwa kehidupan dan alam penuhlah dengan rahasia-rahasia tersembunyi. Rahasia-rahasia itu tertutup oleh dinding. Diantara dinding-dinding itu adalah hawa nafsu kita sendiri. Tetapi rahasia itu mungkin terbuka dan dinding (hijab) itu mungkin tersimbah dan kita dapat melihat atau merasai atau berhubungan langsung dengan yang ter-rahasia, asal kita sudi menempuh jalannya. Jalan itulah yang dinamakan “Tarekat”[15]
Ada 2 macam tarekat yaitu tarekat wajib dan tarekat sunat. 
a.  Tarekat wajib, yaitu amalan-amalan wajib, baik fardhu ain dan fardhu kifayah yang wajib dilaksanakan oleh setiap muslim. Tarekat wajib yang utama adalah mengamalkan rukun Islam. Amalan-amalan wajib ini insya Allah akan membuat pengamalnya menjadi orang bertaqwa yang dipelihara oleh Allah. Paket tarekat wajib ini sudah ditentukan oleh Allah s.w.t melalui Al-Quran dan Al-Hadis. Contoh amalan wajib yang utama adalah shalat, puasa, zakat, haji. Amalan wajib lain antara lain adalah menutup aurat, makan makanan halal dan lain sebagainya. 

b.  Tarekat sunat, yaitu kumpulan amalan-amalan sunat dan mubah yang diarahkan sesuai dengan 5 syarat ibadah untuk membuat pengamalnya menjadi orang bertaqwa. Tentu saja orang yang hendak mengamalkan tarekat sunnah hendaklah sudah mengamalkan tarekat wajib. Jadi tarekat sunnah ini adalah tambahan amalan-amalan di atas tarekat wajib. Paket tarekat sunat ini disusun oleh seorang guru mursyid untuk diamalkan oleh murid-murid dan pengikutnya. Isi dari paket tarekat sunat ini tidak tetap, tergantung keadaan zaman tarekat tersebut dan juga keadaan sang murid atau pengikut. Hal-hal yang dapat menjadi isi tarekat sunat ada ribuan jumlahnya, seperti shalat sunat, membaca Al Qur’an, puasa sunat, wirid, zikir dan lain sebagainya.[16]


3. Hakekat

Hakikat artinya i`tikad atau kepercayaan sejati (mengenai Tuhan), maka hakikat ini pekerjaan hati. Sehingga tidak ada yang dilihat didengar selain Allah, atau gerak dan diam itu diyakini dalam hati pada hakikatnya adalah kekuasaan Allah.[17]
~ Hakikat; adalah kebenaran, kenyataan[18] hakekat menyaring dan memusatkan aspek-aspek yang lebih rumit menjadi keterangan yang gamblang dan ringkas, hakikat mengandung pengertian-pengertian kedalam aspek yang penting dan instrinsik dari benda yang dianalisa.[19]
~ Hakikat berasal dari kata arab haqqo, yahiqqu, haqiqotan yang berarti kebenaran sedangkan dalam kamus ilmiah disebutkan bahwa hakikat adalah: Yang sebenarnya; sesungguhnya; keadaan yang sebenarnya[20].
~ Istilah bahasa hakikat berasal dari kata “Al-Haqq”, yang berarti kebenaran. Kalau dikatakan Ilmu Hakikat, berarti ilmu yang digunakan untuk mencari suatu kebenaran.
Hakikat yang berarti kebenaran atau benar-benar ada, orang-orang sufi menjadikan Allah sebagai sumber kebenaran, dan meyakini seyakin-yakinya, tiada yang lebih indah kecuali mencitai Allah swt dan mentaatinya. Hakekat ini akan di akan dicapai seseorang setelah mencapai makrifat yang sebenar-benarnya dalam tingatan ini benar-benar tiada tabir atau hijab dengan Allah artinya sinyal kita benar nyambung kepada Allah, sehingga ada diantara kita yang memiliki indra ke 6.


4. Ma’rifat

Ma’rifat berasal dari kata ‘arafa, yu’rifu, ‘irfan, ma’rifah artinya adalah pengetahuan, pengalaman dan pengetahuan illahi. Ma’rifat adalah kumpulan ilmu pengetahuan, perasaan, pengalaman, amal dan ibadah kepada Allah SWT.[21] Dalam istilah tasawuf ma’rifat adalah pengetahuan yang sangat jelas dan pasti tentang tuhan yang diperoleh melalui sanubari.
Al-Ghazali secara terperinci mengemukakan pengertian ma’rifat kedalam hal-hal berikut:
  1. Ma’rifat adalah mengenal rahasia-rahasia Allah dan aturan-aturan-Nya yang melingkupi seluruh yang ada;
  2. Seseorang yang sudah sampai pada ma’rifat berada dekat dengan Allah, bahkan ia dapat memandang wajahnya;
  3. Ma’rifat datang sebelum mahabbah.[22]
Sebagian besar para sufi mengatakan bahwa ma’rifat adalah puncak dari tasawuf, yakni mengenal Allah dengan sebenar-benarnya. Oleh karena itu, para sufi berkeyakinan bahwa setiap orang yang menempuh jalan tasawuf dan mengamalkannya dengan sungguh-sungguh ia akan sampai pada akhir tujuan tasawuf itu sendiri yaitu mengenal Allah dengan sebenar-benarnya, yakni ma’rifat.
Para sufi beranggapan bahwa ma’rifat adalah ilmu laduni, yakni ilmu yang di diperoleh dari anugerah tuhan yang tidak dapat didapat lewat usaha manusia. Hal ini berarti bahwa ilmu ini diberikan oleh tuhan kepada hambanya yang diistimewakan atau dipilih melalui ketakwaan, kesalehan dan sufi. Untuk mendapatkan ma’rifat seorang sufi harus menyucikan jiwa dari perbuatan-perbuatan yang kotor dan memperbaiki diri dengan sebaik-baiknya serta melakukan pendakian tingkatan-tingkatan rohani yang disebut dengan maoqamat yang mana tujuan akhir dari pendakian tersebut adalah ma’rifat yakni mengenal Allah dengan sebenar-benarnya.

 

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1              Kesimpulan

Tasawuf dibagi menjadi tiga bagian yaitu tasawuf akhlaqi, amali (irfani) dan tasawuf falsafi.
Tasawuf Akhlaqi memiliki dua cabang isi, yakni Takhalli, Tahalli dan Tajalli.
Sedangkan Tasawuf Amali memiliki 4 cabang isi yang terdiri atas Syariah, Tarekat, Hakekat, dan Ma’rifat.
Para sufi yang mengembangkan taswuf akhlaki antara lain : Hasan al-Basri (21 H – 110 H), al-Muhasibi (165 H – 243 H), al-Qusyairi (376 H – 465 H), Syaikh al-Islam Sultan al-Aulia Abdul Qadir al-Jilani (470 – 561 H), Hujjatul Islam Abu Hamid al-Gajali (450 H – 505 H), Ibnu Atoilah as-Sakandari

4.2       Saran

            Ilmu Tasawuf diperlukan untuk pendalaman agama kita. Bagaimana menomorsatukan urusan akhirat dipandang amat penting dan salah satu cara memahaminya adalah dengan mempelajari tasawuf amali dan tasawuf akhlaqi. Di dalam materi ini terkandung bagaimana jalan untuk menjadi sebenar-benar penghamba, lebih dekat denganNya, dan menghapuskan segala penghalang antara hamba dan khalik dengan cara membersihkan diri dari sifat tercela. Semoga dengan pembahasan tasawuf akhlaqi dan amali ini serta pemaparan makalah ini dapat lebih meningkatkan ilmu dan iman para pembaca.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH HADIST ANJURAN UNTUK BEKERJA

Tokoh-Tokoh Tasawuf

FILSAFAT ILMU: AKSIOLOGI ILMU