hedging syariah
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Perkembangna teknologi informasi dan komunikasi telah mendorong
terjadinya globalisasi dari segala aspek kehidupan, termasuk globalisasi
ekonomi.Perusahaan-perusahaaan yang semula beroperasi nasionnal terdorong untuk
masuk dalam pasar interasional.Perdaganga yang terjadi di pasar internassional
berdampak pada keanekaragaman mata uang yang digunakan dalam setiap
transaksinya.Oleh katena itu perusahaan yang bersaing dalam pasar internasional
selalu dihadapkan oleh resiko fluktuasi nilai tukar/kurs.Ketidakpastian
kondisi perekonomian global berdampak besar terhadap kondisi perekonomian
nasional.
Salah satu cara untuk mengitigasi resiko ketidakpastian ini yaitu
dengan melakukan perlindungan nilai tukar (hedging). Lindung nilai ini
adalah
mekanisme managemen resiko yang penting.Dengan manajemen resiko ini, sebuah
prusahaan dapat menghindari kerugian yang mungkin terjadi di masa mendatang.
Namun tanpa managemen resiko yang baik
meskipun perusahaan medapatkan keuntungan, akanada potensi mengalami kerugian
disebabkan resiko pertukaran valuta asing atau resiko portofolio.
B.
Rumusan masalah
1. Apa
pengertian dan akad hedging
syariah?
2. Bagaimana
batasan hedging syariah?
3. Apa perbedaanhedging syariah dan konvensional dan contohnya di Indonesia?
C. Tujuan
penulisan
1. Mengetahui
pengertian dan akadhedging
syariah.
2. Mengetahui
batasan hedging syariah.
3. Mengetahui perbedaan hedging syariah dan konvensional dan contohnya di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Hedging
Lindung nilai atau hedging adalah strategi yang digunakan
untuk melindungi nilai dari aset-aset yang dimiliki perusahaan dari kerugian
yang terjadi akibat resiko yang ada. Prinsip dasar hedging adalah
menutupi resiko kerugian yang timbul pada posisi aset awal dengan keuntungan
dari posisi instrument hedging, sebelum melakukan hedging, haedger
hanya memegang sejumlah aset awal. Setelah melakukan hedging, hedger memegang
sejumlah aset awal dan sejumlah aset instrument hedging. (suryani & anwar fathoni, 2017)
Transaksi lindung nilai syariah adalah cara atau teknik lindung
nilai atas nilai tukar berdasarkan prinsip syariah. Diantara transaksi yang di
perbolehkan oleh DSN MUI adalah forward agreement yaitu saling berjanji untuk
transaksi mata uang asing secara spot dalam jumlah tertentu di masa mendatang
dengan nilai tukar atau perhitungan nilai tukar yang dispakati pada saat itu.
B. Akad Hedging Syariah
Menurut fatwa DSN, transaksi
Lindung Nilai itu boleh dilakukan dengan syarat mengikuti ketentuan-ketentuan
dalam fatwa. Menurut, fatwa DSN, ada tiga alternatif akad dalam transaksi
lindung nilai yang dibolehkan, yaitu:
1.
‘Aqd al-tahawwut al-basit
Akad ini seperti forward agreement yang dijelmakan dalam
fatwa DSN tentang sharf.Forward agreement bisa didefinisikan
secara sederhana sebuah janji antara beberapa pihak untuk melakukan transaksi
jual beli valuta asing pada waktu yang akan datang secara tunai. Rumus desain
kontraknya adalah dalam forward
konvensional terjadi ketika kontrak jual beli valas dilakukan secara tidak
tunai.Praktik ini tidak dibolehkan karena termasuk riba al-yad atau dikenal dengan istilah ba’i al-sharf al-ajil.
Maka bisa disimpulkan, bahwa titik
keharamannya ada di penyerahan valas yang tidak tunai. Oleh sebab itu, maka
cara mendesain kontraknya agar halal adalah dengan membuat kontrak tunai
melalui forward, diawali dengan muwa’ddah (janji membeli/menjual)
kemudian dilakukan kontrak spot. Sehingga urutan transaksi forward agreement bisa digambarkan sebagai berikut: muwa’addah + transaksi spot +
penyelesaian. Dengan demikian, mekanisme transaksi lindung nilai dengan ‘aqdal-tahawwut
al-basit adalah berikut:
Tahap
pertama, para pihak saling berjanji untuk
melakukan satu kali atau lebih transaksi valuta asing pada masa yang akan
datang meliputi kesepakatan:
a. Mata
uang yang akan diperjualbelikan
b. Jumlah
nominal
c. Harga
atau cara perlindungan nilai tukar, dan
d. Waktu
pelaksanaan
Tahap
kedua, pada waktu pelaksanaan, para pihak
melakukan transaksi valuta asing (ijab/qobul)
secara spot sesuai harga yang disepakati yang diikuti dengan serah terima mata
uang yang dipertukarkan (Maskanul Hakim, et
al., 2016: 80-81).
2.
‘Aqd
al-tahawwut al-Murakkab
Didefiniskan secara sederhana
sebuah transaksi spot kemudian janji antara beberapa pihak untuk melakukan
transaksi jual beli valuta asing secara tunai (swap syariah). Rumus desain
kontraknya adalah bahwa dalam swap konvensional terjadi ketika kontrak jual
beli valas secara tidak tunai kemudian forward
contract, praktik ini tidak diperbolehkan karena termasuk riba al-yad karena termasuk (bai’ al-sharf al-ajil). Forward contract adalah penjualan atau
pembelian jumlah tertentu dari barang, surat berharga pemerintah, mata uang
asing atau instrumen keuangan lainnya, dengan harga yang ditetapkan saat ini
dan dan penyerahan serta penyelesaian pada masa mendatang (Erwandi, 2017: 375).
Bisa disimpulkan titik keharamannya
ada di penyerahan yang tidak tunai, maka cara mendesain
kontrak yang halal adalah dengan membuat kontrak tunai melalui forward. Akad ini diawali dengan muwa’ddah kemudian kontrak spot.
Sehingga urutan transaksi forward
agreement bisa digambarkan yaitu muwa’addah
+ transaksi spot + penyelesaian (Maskanul Hakim, et al., 2016: 81)
3.
‘Aqd
al-tahawwut fi suq al-sil’ah
Transaksi Iindung nilai dengan
skema berupa rangkaian transaksi jual-beli komoditi (sil’ah) dalam mata uang rupiah yang diikuti dengan jual-beli
komoditi (sil’ah) dalam mata uang
asing serta penyelesaiannya berupa serah terima mata uang pada saat jatuh tempo
(Suryani dan Fathoni, 2017: 363).
C. Batasan (Dawabith)
Hedging Sayariah
Dalam transaksi lindungi nilai
syariah (al-tahawuth al-islami/islamic hedging) berlaku ketentuan
berikut :
1.
Adanya kebutuhan nyata
Kebutuhan yang dimaksud adalah adanya kebutuhan nyata
pada masa yang akan datang terhadap mata uang asing yang tidak dapat di
hindarkan (li al-hajah) akibat dari
suatu transaksi yang sah sesuai dengan peraturan perundang –undangan yang
berlaku dengan obyek transaksi yang halal (Maskanul Hakim, et al., 2016: 84)
2.
Obyek yang boleh
dilakukan hedging
Obyek transaksi lindung nilai
syariah (al-Tahawwuthal-islami / Islamic hedging) atas nilai tukar
adalah
Pertama,
paparan (exposure) risiko karena
posisiaset atau liabilitas dalam valuta asing yang tidakseimbang. Poin pertama ini menunjukan bahwaobyek yang
dihedging tidak perlu kewajiban yangditimbulkan atas transaksi, tetapi
walaupun tanpatransaksi seperti kebutuhan akan likuiditas.
Kedua,kewajiban
atau tagihan dalam mata uang asing yangtimbul dari transaksi yang sesuai dengan
prinsipsyariah.Kewajiban yang timbul dari transaksiyang sesuai prinsip syariah
seperi utang piutangyang timbul dari transaksi tidak tunai.Kewajibantersebut
itu boleh dijadikan objek hedging karenatransaksi murabahah yang menjadi
underlayingnyaitu halal.
Ketiga,
apabila hedgingdilakukan ataskewajiban pinjaman yang tidak sesuai
dengansyariah yang dilakukan oleh entitas non keuangan,maka yang boleh
dilakukan hedginghanya pokokpinjaman.Ketentuan ini menunjukan bahwa
bunga pinjaman tidak boleh menjadi obyek hedging.Dalam fatwa DSN ini
kewajiban yang timbul dari transaksi ribawi itu dibolehkan jika dilakukan oleh
entitas konvensional non keuangan, juga dengan syarat yang dihedgingadalah
pokok pinjaman bukan bunganya. Dengan batasan ini, maka pinjaman ribawi dari
lembaga keuangan konvensional itu tidak dibolehkan dijadian obyek hedging.
Ini selaras dengan fatwa DSN tentang pedoman pasar modal yang menjelaskan bahwa
dana non halal adalah pendapatan dari transaksinon halal (al-kasbu al-ghair al-masyru`)(Maskanul Hakim, et al., 2016: 85).
3.
Tidak boleh
diselesaikan dengancara netting
Dalam Fatwa DSN dijelaskan bahwa Penyelesaian
transaksi hedging yang berupa serahterima mata uang pada saat jatuh tempo
tidakboleh dilakukan dengan cara muqashshah (netting). Proses netting ini
menyebabkan valuta asing yang dipertukarkan tidak bisa diserah terimakan secara
tunai sehingga menyebabkan rib al-yad. Misalnya, Bank A menghedg angsuran
murabahah valas nasabah A secara forward. Penyelesaian transaksi
lindung nilai yang berupa serah terima mata uang pada saat jatuh tempo tidak
boleh dilakukan dengan caramuqashshah (netting) (Maskanul Hakim, et al., 2016: 86).
4.
Tidak ada tujuan
untuk spekulasi.
Dalam Fatwa DSN dijelaskan bahwa Transaksidilakukan
bukan untuk spekulasi (untung-untungan),yaitu pihak yang berjanji untuk membeli
tidak bolehmenjual hak pelaksanaan wa`d-nya kepada pihaklain karena mata uang
yang diperjualbelikan belummenjadi miliknya dan belum diserah terimakan.
Ibnu Taimiyah menjeaskan tentang
perbedaanantara pengendalian resiko dan spekulasi:
“Resiko terbagi menjadi
dua, resiko bisnis, yaitu seseorang yang membeli barang dengan maksud
menjualnya kembali dengan tingkat keuntungan tertentu, dan dia bertawakkal
kepada Allah atas hal tersebut.Ini merupakan resiko yang harus diambil oleh
para pebisnis.... bisnis tidak mungkin terjadi tanpa hal tersebut.”(Maskanul
Hakim, et al., 2016: 86).
5.
Transaksi lindung nilai
tidak boleh dilakukan untuk tujuan spekulasi.
Transaksilindung nilai syariah
hanya dipergunakan untukmengelola resiko nilai tukar yang riil (nyata)dan bukan
untuk mencari keuntungan yangtermasuk spekulasi.Underlying yang
dimaksuddalam hedgingadalah tujuan penggunaan hedging(obyek hedging).Jika
seorang nasabah memilikipiutang murabahah dengan mata uang
asing,kemudian melakukan transaksi hedging, makakebutuhan yang timbul
saat murabahah adalahobjek hedging. Salah satu indikator
spekulasiadalah hedgingtanpa underlyingnya; hedgingtanpa
ada transaksi sebelumnya (Maskanul Hakim, et
al., 2016: 86).
6.
Hak
janji jual tidak boleh diperjualbelikan.
Menurut fatwa DNS, hak pelaksanaan
(eksekusi) penyerahan obyek akad tidak boleh diperjualbelikan. Masudnya pihak
yang melakukan muwa’adah (saling
berjanji) tidak boleh menjual haknya kepihak lain, karena pihak yang berjanji
belum memiliki obyek akad (valas yang diperjualbelikan) sebagai fatwa DNS: “Hak pelaksanaan wa’d-nya dalam mekanisme
lindung nilai tidak boleh diperjual belikan”. Hak pelaksanaan wa’d tidak boleh diperjualbelikankarena
ini adalah indikator praktik spekulasi.
Menurut NadwahDala al- Baraka, hak
janji beli itu tidak boleh diperjual belikan karena hal berikut
·
Keinginan pihak akad (iradah) itu bukan obyek yang bisa
diperjualbelikan, karena keinginan itu bukan harta, bukan manfaat, dan bukan
pula hak.
·
Kedua objek akad (tsaman dan mutstaman) diserahkan secara tidak tunai (ta’jilbadalain), dan ini termasuk ibtida dain bi al- dain)
Termasuk menjual sesuatu yang belum
dimiliki bukan dengan cara salam (Maskanul Hakim, et al., 2016: 87-88).
7.
Nilai
tukar harus disepakati pada saat saling janji (muwa’adah).
Nilai tukar atau perhitungan nilai
tukar harus disepakati pada saat saling berjanji (muwa’adah) : dengan metode perhitunagan mengacu pada base practice (standar international). Perhitungan nilai tukar
diperbolehkan dalam wa’d. Wa’d dalam transaksi hedging
tersebut memerlukan konfirmasi dan persetujuan dari counterpartynya terkait enforceability
dalam realisasinya. Nilai tukar atau perjitungan nilai tukar harus disepakati
pada saat saling berjanji (muwa’adah)
(Maskanul Hakim, et al., 2016: 87).
8.
Produk-produk
hedging.
Fatwa DNS memberikan beberapa
contoh objek lindung nilai anatara lain dapat berupa:
·
Simpanan dalam valuta
asing yang menggunakan valuta asing
antarbank;
·
Kebutuhan dalam valuta
asing untuk penyelengaraan haji/umroh dan biaya perjalanan ke luar negeri
lainnya yang sesuai dengan Syariah;
·
Kebutuhan dalam valuta
asing untuk biaya pendidikan diluar negri;
·
Kebutuhan dalam valuta
asing lainya yang sesuai dengan prinsip Syariah dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku
Kalau
ditelaah contoh-contoh diatas, contoh poin 2 hingga poin 4 adalah hedging atas
kewajiban bukan hedging atas asset.
Disamping itu, yang dihedging adalah kebutuhan bukan akadnya.
Underlying assets setiap
transaksi jual beli komoditi Syariah yang mendasari instrument hedging
harus halal, riil (tidak fiktif) yaitu harus benar-benar ada dan dapat diserah
terimakan (Maskanul Hakim, et al.,
2016: 87)
9.
Pelaku
transaksi dalam lindung nilai Syariah.
Menurut fatwa DSN pelaku transaksi
dalam lindung nilai Syariah adalah antara lain berupa.
a.
Lembaga keuangan
Syariah atau
b.
Lembaga keuangan
konvesional (LKK) sebagai penerima lindung nilai seperti bank konvesional
sebagai penerima manfaaat hedging (obyek hedging)
c.
Bank Indonesia,
misalnya bank Syariah minta ke bank sentral BI.
d.
Lembaga bisnis yang
tidak bertentangan dengan prinsip Syariah, sebagai penerima indung nilai.
e.
Orang dan badan hukum
lainnya. Seperti kemenag dan lain-lain (Maskanul Hakim, et al., 2016: 87).
D. Perbedaan Hedging Sayariah dan Konvensional
1.
Hedgingsyariah
a.
Hedgingsyariah tidak boleh dilakukan untuk tujuan spekulatif sehingga
wajib memiliki underlying(tidak di perkenankan untuk pembayaran sebagian
(margin)).
b.
Transaksi
ini hanya boleh dilakuakan apabila terdapat kebutuhan nyata untuk mengurangi
resiko nilai tukar di masa mendatang terhadap nilai tukar asing yang tidak
dapat di hindarkan.
c.
Lindung
nilai dibatasi hanya untuk transaksiforward, transaksi ini hanya di
lakukan untuk kebutuhan yang tidak dapat di hindari (lilhajah) menggunakan
akad muwa’adah (forward agreement).
2.
HedgingKonvensional
a.
Tanpa
adanya underlyingtransaksi, maka aktivitas tersebut cenderung
spekulatif. Hal tersebut dikarenakan sebagaian instrument hedging yang
sering digunakan adalah dalam bentuk deruvatif yaitu Future dan opsidalam
perdagangan derivative transaksi dimungkinkan hanya membayar sebagian kecil
dari pokok transaksi (margin derivative). Pembayaran di awal dengan nilai yang
sangat kecil tersebut dimaksudkan karena transaksi derivatif hanya dimaksudkan
sebgai sarana managemen resiko bukan untuk transaksi jual beli. Namun dengan
adanya inovasi dari para pelaku pasar, kesempatan ini di gunakan untuk
spekulasi.
b.
Menggunakan
transaksi forward, future dan opsi,transaksifuture dan opsi menurut
DSN MUI adalah kharam.
E. Contoh Hedging Syariah di Indonesia
a.
PT
Bank Syariah Mandiri
PT Bank syariah
mandiri menawarkan layanan hedging atau lindung nilai syariah kepada
mitra bisnisnya. Hal ini dilakukan dengan seiring di tingkatkannya pangsa pasar
mandiri syariah dalam layanan haji dan umroh. Layanan mandiri syariah
menawarkan hedging berjangka waktu maksimal 3 bulan. Mekanisme layanan ini
adalah bank dan nasabah sepakat dan berjanji (muwa’adah) yang di tuangkan dalam
dokumen wa’ad (forward agreement) untuk melakukan transaksi spot yang akan
datang. Kesepakatan dibuat kedua belah pihak mencakup valuta asing dan valuta
local yang diperjualbelikan, jumlah nominal, nilai tukar, jangka waktu gati
rugi (ta’widh) (kompas.com).
b.
PT
Bank Mybank Indonesia tbk
PT Bank Mybank Indonesia tbk. Bekerja sama dengan PT Sarana Multi
Infrastruktur (persero) melalui layanan produk lindung nilai berbasis syariah
senilai US$128 juta.Transaksiinimerupakan
perjanjian antaraduapihakuntukmelakukanserangkaian pertukaran
dua valutayang berbedaselamajangka waktu
tertentu
berdasarkan prinsip Syariah al-Tahawwuth
al- Murakkabyang berarti transaksiLindung NilaiSederhanasesuaikompleksitastransaksinya. manfaat produk
lindung nilai bagi nasabah adalah untuk memitigasi risiko dari pergerakan nilai
tukar selama jangka waktu tertentu sehubungan dengan kebutuhan nasabah untuk
membayar kewajibannya baik berupa bagi hasil atau margin atau sewa dan pokok
pembiayaan dalam mata uang tertentu (kompas.com).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Transaksi lindung nilai syariah adalah cara atau teknik lindung
nilai atas nilai tukar berdasarkan prinsip syariah. Diantara transaksi yang di
perbolehkan oleh DSN MUI adalah forward agreement yaitu saling berjanji
untuk transaksi mata uang asing secara spot dalam jumlah tertentu di masa
mendatang dengan nilai tukar atau perhitungan nilai tukar yang dispakati pada
saat itu.
Menurut
fatwa DSN pelaku transaksi dalam lindung nilai Syariah adalah antara lain
berupa.
a. Lembaga
keuangan Syariah atau.
b. Lembaga
keuangan konvesional (LKK) sebagai penerima lindung nilai seperti bank
konvesional sebagai penerima manfaaat hedging (obyek hedging).
c. Bank
Indonesia, misalnya bank Syariah minta ke bank sentral BI.
d. Lembaga
bisnis yang tidak bertentangan dengan prinsip Syariah, sebagai penerima indung
nilai.
e. Orang
dan badan hukum lainnya. Seperti kemenag dan lain-lain (Maskanul Hakim, et al., 2016: 87).
DAFTAR PUSTAKA
Ade Chusmita, Lina, dan Sahlan Hasbi. 2016. Analisis Penerapan Hedging di Perbankan Syariah Indonesia. Jurnal Nisbah Vol. 2
No. 2 Tahun 2016
Istutik dan Tita Irbah Rofifah. 2017. Implementasi Hedging Syariah Dalam Minimalisasi Risiko Atas Fluktuasi Kurs
Valuta Asing (Studi Pada PT. Astra Argo Lestari). Jurnal Administrasi dan
Bisnis, Vol. 11 No. 1, Juli 2017.
Tarmizi, Erwandi. 2017. Harta Haram Muamalat Kontemporer. P.T. Berkat Mulia Insani: Bogor
Sahroni, Oni, Hasanudin dan Cecep Maskanul Hakim. 2016. Instrumen Hedging dan Solusinya Menurut Syariah. Jurnal Ekonomi dan
Perbankan Syariah Vol. 2, No. 2, September 2016.
Suwiknyo, Dwi. 2009. Kamus
Lengkap Ekonomi Islam. Total Media: Yogyakarta.
Suryani dan Muhammad Anwar Fathoni. 2017. Lindung Nilai (Hedging) Perspektif Islam: Komparasi Indonesia dan Malaysia.
Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan Vol. 11, No. 2, Desember 2017.
Komentar
Posting Komentar