MASA STAGNASI, KONSOLIDASI DAN HIPERINFLASI 1950-1965

BAB 4
MASA KONSOLIDASI STAGNASI DAN HIPERINFLASI 1950-1965
B
ab ini membahas tentang perjalanan ekonomi Indonesia di decade awal masa kemerdekaan. Konflik antara Indonesia  dan belanda di akhiri dengan adanya kesepakatan yang dicapai dalam konferensi meja bundar ( KMB ) pad akhir 1949. Dengan langkah diplomatic ini, selain konflik dapat diakhiri, pada tahun 1950 indonesia memperoleh pengakuan resmi didunia internasional sebagai negara berdaulat. Perjuangan panjang untuk mencapai Indonesia merdeka yang diakui dunia akhirnya membuahkan hasil. Sekarang indonesai dihadapkan  pada tantangan baru yang tidak kalah berat dan rumitnya, yaitu bagaimana mengelola negara merdeka untuk mengangkat kesejahteraan rakyat.
Masa demokrasi perlementer, 1950-1957
Memasuki dasawarsa 1950-an sejumlah permasalahan mendasar dibidang politik dan ekonomi mengahadang republic muda ini.
Politik tidak stabil. Perjalanan republic muda ini tidak terlalu mulus. Suasana politik tidak mendukung. Seperti halnya negara-negara yang baru merdeka lain, Indonesia menghadapi masalah-masalah yang terkait dengan system politiknya yang belum berjalan baik dan proses pemantapan ikatan kebangsaannya  yang belum tuntas.
TABEL 4.1
KABINET DIMASA DEMOKRASI PARLEMENTER
PERDANA MENTRI
MULAI KERJA
DURASI
HATTA
19/12/1949
5 bulan 15 hari
NATSIR
06/09/1950
6 bulan 15 hari
SUKIRMAN
18/04/1951
10 bulan 5 hari
WILOPO
30/03/1952
14 bulan 2 hari
ALI SASTRIAMDJOJO
31/07/1953
23 bulan 24 hari
BURHARUDIN HARAHAP
08/1955
-6 bulan
ALI SASTRIAMIDJOJO
03/1956
-12 bulan
Rata-rata

-10 bulan 10 hari

Sitem demokrasi perlementer  ternyata tidak menghasilkan pemerintahan yang stabil. Cabinet terlalu sering  berganti, sehingga pelaksanaan kebijakan  ekonomi yang konsisten, berkesinambungan, dan berorientasi jangka panjang tidak pernah terlaksana. Masing-masing kabinet mempunyai prioritas program yang berbeda dan tidak pernah dilaksanakan dengan tuntas. Namun, ada dua hal yang menyatukan berbagai kelompok politik  itu, yaitu : (a) tuntutan kepada belanda untuk mengembalikan irian barat (b) kehendak kuat untuk mendobrak dominasi ekonomi belanda untuk Indonesia, seperti tercermin pada kebijakan Indonesia yang akan kita bahas nanti. Dua hal ini merupakan sasaran yang tidak berubah dari semua kabinet  di masa ini. Meskipun dilaksanakan dengan nuansa dan irama yang berbeda-beda. Tapi,  dalam hal pengelolaan ekonomi makro, tidak ada kesatuan dan kesinambungan pandang.
NKRI dan desentralisasi. Dalam KMB sudah kelihatan jelas bahwa belanda belum siap melepas angan-angannya untuk menguasai Indonesia. Atas desakan belanda,  KMB menyepakati  bentuk negara federal-republik inodensia serikat ( RIS ). Republic Indonesia adalah satu dari 16 negara bagian RIS yang kebanyakan diciptakan oleh, atau terbentuk atas dukungan, belanda. Tapi perkembangan di lapangan tidak seperti yang diharapkan  belanda. Dalam bulan-bulan berikutnya, atas tuntutan masyarakat setempat, satu per-satu negara bagian itu menyatakan  bergabung dengan negara RI, pada agustus 1950. Negara kesatuan republic Indonesia terbentu ( lagi ) dengan UUD sementara.
            Penyatuan Indonesia seacara politik “ makro “ selesai. Namun, hubungan anatar daerah tetap merupakan titik rawan. Factor penyebab kepentingan ekonomi antara jawa dengan luar jawa menimbulkan friksi politik yang berkelanjutan. Luar jawa telah menjadi penghasil devisa utama, sedangkan jawa merupakan pengguna devisa utama, seperti yang akan kita bahas nanti, kebijakan ekonomi yang diambil oleh pusat tidak memecahkan masalah,. Daerah-daerah ekspor  ( luar jawa ) merasa dirugikan. Ketidakpuasan daerah terhadap pusat makin meningkat dan bermuara pada pemberontakan PRRI-permesta ( 1957-58 ). Sejarah mencatat bahwa dalam waktu yang tidak terlalu lama, pemberontakan dapat diatasi, namun dengan biaya besar yang membebani ekonomi indonesai  untuk beberapa waktu kemudian,  berupa beban tambahan pada APBN dan gangguan pada produksi.
            Sedikit kilas maju, di masa demokrasi terpimpin dan masa orde baru, NKRI tidak mengahdapi tantangan yang berarti. Suara yang menuntut hak-hak yang lebih besar bagi daerah nyaris tidak terdengar. Namun, masalah keseimbangan antara sentralisme dan desentralisme dalam tata pemerintahan sebenarnya belum terselesaikan. 40 tahun kemudian pada waktu orde baru diganti orde “ reformasi “, tuntutan untuk desentralisasi muncul kembali. Kali ini dengan suara keras dan kali ini mendapat respons substantif. Beberapa kebijakan dan perundingan ditetapkan untuk mengalihkan sejumlah kewenangan dan tanggung jawab penting dari pusat kepada daerah. Indonesia melaksanakan desentralisai besar-besaran dalam waktu relative singkat. Indonesia dikatan melaksanakan big bank approach. Indonesia sekarang menjadi salah satu negara di dunia yang paling ter-desentralisasi. Namun, secara objektif system otonomi daerah yang sekarang ada belum seluruhnya berjalan baik. Indonesia masih terus mencari titik keseimbangan yang pas antara sentrelisasi ( yang diperlukan untuk mendukung negara kesatuan ) dan desentralisasi ( untuk mendukung aspirasi daerah untuk mengatur diri sendiri ). Tema ini akan menjadi bahan untuk ditulis dalam buku sejarah perekonomian diwaktu mendatang. Tetapi marilah kita kembali ke-periode bab ini akan menelusuri kebijakan-kebijakan ekonomi utama dan kinerja perekonomian Indonesia pada 1950-57
TANTANGAN EKONOMI
Dibidang ekonomi, Indonesia dihadapkan pda kenyataan :
a)      Adanya kerusakan berat pada sarana dan prasaran produksi
b)      Birokrasi pemerintahan yang belum mapan dan belum berjalan baik
c)      Beban utang yang harus ditanggung sebagai konskuensi dari kesepakatan KMB
d)      Konstelasi kekuasaan ekonomi dan kemampuan ekonomi antar kelompok sosial yang tidak jauh berbeda dengan masa colonial masa dahulu.
Sementara itu, masyarakat kebanyakan mengharapkan segera ada perbaikan kehidupan. Sementara itu, para elite bangsa juga sudah tidak sabar lagi untuk mewujudkan orang Indonesia menjadi pelaku dan pemegang kendali utama ekonomi nasional.
Beban ekonomi KMB ( konferensi meja bundar ). Hasil KMB dibidang ekonomi dituangkan dalam kesepakatan ekonomi  keuangan  ( financial economic agreement ) yang berisi butir-butir sebagai berikut :
·         Perusahaan-perusahaan belanda diperbolehkan beroperasi kembali seperti sebelum perang, termasuk kebebasan untuk mentransfer keuntungannya.
·         Inondesia menanggung pembayaran utang pemerintah hindia belanda ( dalam dan luar negri ) sebesar USD 1,13 miliar.
·         Untuk kebijakan tertentu, ( misalnya: nasionalisasi ), Indonesia perlu berkonsultasi atau bahkan minta persetujuan pemerintah belanda.
·         Indonesia menanggung biaya 17.000 karyawan eks belanda yang berad di inonesia selama 2 tahun dan menampung 26.000 tentara eks KNII
Inilah biaya ekonomi untuk mencapai tujuan politik yang lebih besar, yaitu mengakhiri konflik dan mendapatkan pengakuan dunia internasional. Beban langsungnya berupa pos penegeluaran tambahan APBN setiap tahunnya, sedangkan beban tidak langsungnya berupa sejumlah kendala yang memasung kebijakan-kebijakan ekonomi yang kita ambil. Dalam perjalanannya, dengan memburuknya hubungan Indonesia-belanda di tahun-tahun kemudian, kesepakatan itu secara resmi dibatalkan oleh kabinet burhanudin harahap pada februari 1956. Meskipun akhirnya tidak semua butirnya dipenuhi atau dilaksnakan, kesepakatan itu telah membebani anggaran republic selama lebih dari 5 tahun dan sewaktu dibatalkan republic telah membayar 82% dari seluruh utangnya
Indonesianisasi. Memberdayakan orang indoesia dibidang politik dan ekonomi merupakan tujuan sentral gerakan kemerdekaan. Pameo yang sering terdengar pada waktu itu mengatakan bahwa dibidang politik tujuan sudah tercapai ( kecuali masalah irian barat ), tetapi dibiding ekonomi belum. Ada keinginan kuat untuk secepatnya menggeser dominasi ekonomi belanda dan meningkatkan peran kaum pribumi dibidang ekonomi kebijakan utama yang diambil untuk tujuan itu adalah sebagai berikut:
·         Program benteng. Kebijakan ini menggunakan instrument alokasi devisa dan kredit perbankan untuk meningkatkan peran importer pribumi. Mereka menerima jatah devisa denga kurs murah. Program ini tidak berhasil mencapai sasaran yang diinginkan karena kebanyakan penerima lisensi impor mencari jalan pintas dengan “ menjual “-nya kepada importer yang sudah mapan. Ungkapan pada waktu itu, mereka hanyalah importer “ aktentas “ atau perusahaan “ ali baba “.
·         Membentuk perusahaan milik negara. Beberapa BUMN dibentuk untuk menyaingi/ menggeeser dominasi bisnis belanda ( CTC, Usindo, BNI, Bank INdustri Negara, Pelni )
·         Nasionalisasi Gelombang Pertama. Pemerintah RI mengambil alih De Javasche Bank, kereta api, gas, listrik,  dan sejumlah perusahaan utilitas public lainnya.
·         Nasionalisasi Gelombang Kedua ( 1958 ). Ketegangan antara Indonesia dengan belanda mengenai masalah irian barat memuncak yang mengakibatkan gelombang nasionalisasi baru. Pemerintah RI mengambil alih perusahaan penerbangan KLM, perusahaan pelayaran KPM, perkebunan, industry, perusahaan dagang belanda ( yang dikenal sebagai the big five ) dan bank-bank belanda. Dengan langkah ini, berakhirlah peran bisnis nbelanda di inonesia.
Dengan penegcualian program benteng, kebijakan Indonesianisasi melalui pembentukan BUMN dan nasionalisasi bisa dikatakan berhasil. Peran negara menggeser peran dominan perusahaan-perusahaan belanda dalam perekonomian Indonesia. Namun, kebijakan tersebut ada biayanya, yang membebani ekonomi Indonesia untuk masa panjang setelah itu, yaitu berupa merosotnya produktifitas dan profitabilitas perusahaan-perusahaan eks belanda dan rendahnya kinerja BUMN-BUMN baru, yang pada akhirnya bermuara pada beban “ subsidi “ untuk mereka di APBN. Barangkali pengorbanan memang harus dibayar untuk bisa mandiri. Tetapi tentunya harus ada pula niat dan upaya kuat untuk memperpendek masa yang membebani itu. Tetapi itu tidak terjadi. Pos subsidi untuk BUMN pada APBN dan dukungan kredit murah dari BI dan perbankan terus membengkak, menjadi salah satu penyebab utama peningkatan uang beredar dan inflasi dalam dasawarsa 1950-an dan hiperinflasi pada masa 1960-an.
Ketimpangan Ekonomi Makro. Suasana politik yang tidak stabil mempunyai pengaruh nyata pada pelaksanaan kebijakan makro. Persoalan pokok ekonomi makro yang dihadapi pada waktu itu adalah adanya ketimpangan yang terus-menerus dibidang fiscal dan pada neraca pembayaran. Kecuali sewaktu perang korea, 1951-52, yang mendongkrak harga komoditi ekspor utama Indonesia dalam masa ini:
a)      Deficit APBN terus membengkak karena peningkatan pengeluaran yang tidak diimbangi dengn penigkatan penerimaan
b)      Deficit neraca pembayaran makin besar karena peningkatan impor tidak diimbangi dengan peningkatan ekspor. Indonesia menghadapi masalah deficit ganda yang sangat kronis
Dalil ekonomi mengatakan bahwa masalah deficit ganda ( deficit APBN ynag terjadi bersamaan dengan deficit neraca pembayaran ) hanya dapat diatasi dengan 2 kebijakan
1)      Penegtahuan fiscal moneter: memotong pengeluaran, meningkatkan penerimaan, mengendlikan uang beredar.
2)      Devaluasi: menurunkan nilai mata uang rupiah terhadap nilai mata auang asing. Keduanya adalah pil pahit. Tidak satu kabinet pun, yang rata-rata hanya 10 bulan, mau dan mampu menyelesaikan proses pengobatannya dengan tuntas.
Yang dipilih adalah pil yang kurang pahit, yang meredam gejala penyakit, tapi tidak mengobati penyebabnya yaitu system kurs ganda ( multiple exchange rates). Dalam system ini, ada beberapa kurs rupiah, masing-masing diberlakukan untuk kelompok transaksi devisa tertentu. Bagi transaksi-transaksi yang menyangkut devisa keluar ( impor, transfer, keluar ), setiap dolar yang diperlukan harus dibayar dengan kurs yang lebih mahal. Sebaliknya, bagi transaksi-transaksi devisa masuk ( ekspor, transfer, masuk ), setiap dolar yang masuk ditukar dengan rupiah yang lebih sedikit.
System kurs ganda sebenarnya adalah pajak atas transaksi devisa. Perbedaan antara kurs untuk devisa masuk dan devisa keluar menghasilkan penerimaan bagi negara. Kebijakan ini diharapkan dapat mengurangi deficit APBN ( karena ada penerimaan tambahan ) dan sekaligus mengerem impor dan transfer devisa keluar ( karena transaksi ini menjadi lebih mahal ). System “ kurs ganda “ untuk mengobati “ deficit ganda “!

Pengalaman membuktikan bahwa kebijakan ini tidak dapat mencapai tujuan yang diaharapkan. Ibarat pemakaian obat yang makin hari makin tinggi dosisnya, untuk mengatasi keadaan system ini, menjadi makin ruwet dan makin tidak efektif. Mengapa ? sebab utamanya adalah karena kebijakan ini tidak didukung oleh kebijakan pengetatan fiscal. Akibatnya, uang beredar terus membengkak dan inflasi berlanjut. Dan inflasi mengakibatkan kurs-kurs yang ditetapkan dalam waktu singkat menjadi tidak realistis, yang mengakibatkan kebijakan kurs tidak efektif. Kita kembali akan membahas ini nanti.
Dalam parktik juga timbul disinsentif bagi kegiatan ekspor-impor melalui jalur resmi dan mendorong penyelundupan. Tidak ada data akurat mengenai transaksi yang tidak tercatat ini, tapi jumlahnya diperkirakan besar. Sebuah studi membuat perkiraan besarnya ekspor yang tidak tercatat selama 1963-66 untuk beberapa komoditi utama adalah sebagai berikut: karet 13%, kopra 50%, kopi 4%, tembakau 61%, dan teh 57% dari seluruh ekspor masing-masing komoditi.
Banyak, dan makin banyak, devisa yang keluar masuk  di negeri ini berada di luar  control pemerintah. Maka timbullah “ kurs resmi “ dan “ kurs gelap “ ( kurs pasar bebas ) dan perbedaan ( disparatis ) antara keduanya makin melebar karena inflasi terus menggerus nilai rupiah. Pada gilirannya, disparatis yang melebar ini membuat orang makin enggan  menggunakan jalur resmi utnuk transaksi devisa mereka. Selama periode ini, kurs pasar bebas lebih dari 4 kalinya kurs resmi: pada 1952, kurs resmi RP.3,8 per-USD, kurs pasar sekitar Rp.16,5 per-USD,dan pada 1957 kurs resmi Rp.11,4 di pasar bebas mencapai Rp.45,8 disparatis makin memburuk memasuki tahun 1960-an: pada 1962, kurs pasar adalah 19 kali kurs resmi dan pada 1964 29 kali. Insentif yang sangat menarik bagi mereka yang dapat memanfaatkan disparatis Itu!.
Ada lagi satu pelajaran penting dari pengalaman kita mengenai system ini, yaitu timbulnya korupsi yang luas di instansi yang diberi kewenangan untuk mengatur lalu lintas devisa. Par “pemburu rente” berbondong mengerumuni instansi tersebut. Instansi yang dijangkiti korupsi tidak akan dapat mendukung kebijaksanaan apa pun.
Mari kita telusuri lebih dalam alur cerita mengapa pengelolaan ekonomi makro gagal dalam periode tahun ini. Akar permasalahannya ada didalam bidang politik. System demokrasi parlementer tidak dapat menghasilkan pemerintah yang stabil sehingga kalaupun ada upaya untuk mengatasinya, tidak akan pernah dilaksanakan berkesinambungan dan tuntas. Pandangan antara satu kabinet dan kabinet berikutnya sering berbeda: ada yang memberikan prioritas pada stabilisasi ada yang tidak.

Permasalahan ekonominya terletak pada bidang fiscal. Deficit APBN makin melebar karena pengeluran terus meningkat, sedangkan penerimaan selalu tertinggal. System kurs devisa ganda tidak membawa hasil yang diharapkan. Dalam periode ini, pembayaran utang KMB dan pembiayaan program-program Indonesianisasi merupakan pos-pos penting dalam pengeluaran negara. Menjelang akhir periode, biaya operasi militer untuk mengatasi pemberontakan daerah mendominasi pengeluaran. Ketekoran anggaran ini dibayai dengan pinjaman pemerintah  kepada BI yang langsung menambah uang beredar. Karena desakan kebutuhan anggaran, pada tahun 1958 batas-batas pinjaman ini yang semula ada dihapus sama sekali. Rambu teralahir untuk mengendalikan pengeluaran pemerintah dicabut.
Kebijakan moneter pun punya peran sebagai sumber kenaikan uang beredar, meskipun tidak sepenting kebijakan fiscal. Dalam periode ini, anatar ¼ dan 1/3 dari seluruh kredit perbankan ( termasuk BI ) diberikan kepada importer ( program benteng ). Antara 1951-1958, uang beredar meningkat rata-rata 28% per-tahun.
Ketimpangan ekonomi makro berlanjut dan justru makin memburuk karena penyebab penyakit tidak diobati. Kecuali untuk tahun 1951, deficit APBN terus melebar, terutama melalui 1958 sewaktu batas pemberian kredit BI kepada pemerintah dihapus. Uang beredar terus meningkat cepat, tekanan inflasi makin kuat, dan kurs resmi makin jauh dari kenyataan,
Tabel 4,2
Deficit APBN dan uang beredar 1950-58 ( dalam Rp juta )
Tahun
Deficit APBN ( Rp. Per-juta )
Uang beredar ( RP. Per-juta )
Pertumbuhan uang beredar (%)
1950
-1.736
4.30

1951
+1.186
5.00
+16,3
1952
+7.221
6.00
+20,0
1953
-2.068
7.52
+25,3
1954
-1.602
11.12
+47,9
1955
-2.090
12.23
+10,0
1956
-1.564
13.39
+9,5
1957
-5.040
18.91
+41,2
1958
-12.040
29.37
+55,3
Catatan: (-) deficit, (+) surplus.

Pertumbuhan ekonomi. Statistic menunjukan bahwa dalam periode 1949-57, PDB total Indonesia masih tumbuh sekitar 5,5% per tahun dan PDB non-migasnya 4,3% per tahun, yang berarti PDB total perkapita tumbuh antara 2,7-3,2% dan PDB non-migasnya antara 1,5-2,0% per tahun. Kinerja ini Nampak tidak terlalu buruk tapi seyogianya diletakkan dalam perspektif yang benar. Pertama  pada waktu itu sector migas mempunyai  kaitan minimal dengan kehidupan masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu PDB non-migas lebih relevan sebagai indicator taraf hidup masyarakat. Kedua, PDB Indonesia tumbuh dari basis awal yang sangat rendah, yaitu kondisi lahir dari “ ekonomi perang “  dengan segala kerusakan yang ditimbulkannya. Ketiga PDB per-kapita dimasa ini juga masih jauh dibawah tingkatnya sebelum perang. Perbaikan taraf hidup yang berarti belum dirasakan oleh mayoritas masyarakat.
MASA DEMOKRASI TERPIMPIN 1957-1965
Politik mendominasi, peristiwa-peristiwa politik mendominasi pentas di sisa dasawarsa 1950-an, masalah ekonomi makin terpinggir. “ politik adalah panglima “  adalah ungkapan yang sering terdengar pada waktu itu. Keadaan ekonomi terus memburuk, tetapi energy bangsa banyak tersita oleh persoalan politik. Ketidakpuasan terhadap kinerja demokrasi parlementer menguat. Pemebrontakan PRRI-permesta dan keadaan ekonomi yang makin berat mempercepat proses runtuhnya sistem demokrasi palementer.
 Berikut ini beberapa tonggak peristiwa penting yang mengubah system politik dan selanjutnya mengubah secara mendasar pengelolaan ekonomi di tanah air.
1)      Februari 1957: presiden soekarno mencetuskan konsepsi presiden yang intinya mengusulkan system kabinet presidensial yang bertanggung jawab kepada suatu dewan nasional.
2)      Maret 1957: kabinet ali sastroamidjojo menyerahkan kembali mandatnya.
3)      April 1957: presiden soekarno membuat kabinet karya ( djuanda sebagai perdana mentri )
4)      July 1959: dekrit presiden memberlakukan kembali UUD 1945
5)      Maret 1960: system demokrasi terpimpin dilaksanakan penuh kabinet presidensial dibentuk, parlemen dibubarkan dan diganti dengan dewan nasional. Kampanye merebut irian barat digencangkan
System ekonomi terpimpin. Konsepsi mengenai demokrasi terpimpin dibidang politik selanjutnya melahirkan turunannya dibidang ekonomi. Ekonomi terpimpin, system ekonomi pada hakikatnya mendalikan bahwa negara harus berperan untuk “memimpin”   ekonomi nasioanl melalui dibentuknya jalur-jalur pengaturan dan komando yang tegas terhadap sector-sektor ekonomi utama. Dan semuanya itu didasarkan pada satu rencana nasional yang komprehensif.
            Konsepsi ini sebagian merupakan reaksi terhadap pengalaman pada tahun 1950-an yang meninggalkan kesan ketidakberdayaan negara mengendalikan dan mengarahkan ekonomi nasional. Sebagian lagi terkesan dan terinspirasi oleh “ kesuksesan “ system ekonomi berencana yang diterapkan di negara-negara sosialisasi berupa pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan terbangunnya industry-industri dasar sebagai landasan pembangunan industry mereka. Sebagai kilas maju, baru dua dasawarsa kemudian sejarah menjatuhkan vonis bahwa system perencanan sentral, meski sering menunjukan prestasi awal yang mengesankan, ternyata tidak dapat berlanjut dalam jangka panjang. Sebab utamanya adalah karena ada kontradiksi mendasar dalam system insentifnya dan kerancuan antara pengelolaan politik dan pengelolaan ekonomi. Setelah itu satu demi satu negara yang menerapkan system perencanaan sentral meninggalkannya dan mengadopsi berbagai variasi kombinasi antara perencanaan negara dan mekanisme pasar.
Berikut ini beberapa asas yang melandasi system ekonomi terpimpin di Indonesia.
Negara dengan konsepsi politiknya dengan penjuru utama ekonomi nasional. Sasaran-sasaran dan kebijakan-kebijakan ekonomi ( fiscal, moneter, sektoral ) harus mengacu dan tunduk pada tujuan besar politik negara.
Dirumuskan rencana pembangunan nasional 8-tahun untuk dijadikan acuan bagi semua kegiatan politik, ekonomi, sosial, budaya, dan keamanan di negara ini.
BUMN menjadi tulang punggung dan pelaku sentral ekonomi utama dan sector-sektor yang menyangkut hajat hidup rakyat. Meraka mendapatkan dukungan penuh dari APBN dan perbankan untuk melaksanakan tugasnya.
Sector perbankan diorganisasi sebagai satu jaringan pembiayaan dengan jalur komando yang tegas ( system “ bank tunggal “ ) untuk mendukung semua kegiatan ekonomi yang diprioritaskan oleh negara dengan bank sentral ( BI ) sebagai pemegang kendali utama. Dan BI sendiri adalah bagian yang tak terpisahkan dari pemerintah.
Peluang bagi experiment system baru ini untuk sukses memang tidak besar sejak awal. Pertama, karena experimen itu dilaksanakan dalam kondisi makro-moneter yang semakin memburuk. Kedua, karena perangkat pelaksanaan system baru tersebut tidak pernah dipersiapkan dengan baik.  Ketiga, karena politik luar negri Indonesia pada waktu itu tidak disuaki oleh negara-negara barat sehingga akses Indonesia ke sumber-sumber keuangan dunia tambah sulit. Keempat, karena dengah berjalannya waktu, situasi politik dalanm negri makin tegang dan makin tidak kondusif bagi pelaksaan kebijakan ekonomi yang raisonal.
Kondisi fiscal dan moneter. Perkembangan dan program-program politik pada waktu itu memaksa pemerintah untuk berusaha untuk mempertahankan tingkat pengeluarannya. Tabel 4.3 menunjukan bahwa upaya itu mengalami kesulitan-secara riil ( dikoreksi dengan laju inflasi ) penegeluaran justru terus merosot. Sementara itu, penerimaan riil mengalami penurunan yang lebih tajam lagi. Inflasi menggerogoti “ daya beli “ APBN. Table 4.4 menunjukan contoh pos-pos pengeluaran yang tidak bisa diganggu gugat karena merupakan prioritas politik, dan jumlahnya makin membengkak pada 1965, pos-pos ini merupakan hampir 40% dari seluruh anggran. Deficit APBN makin membesar, kondisi fiscal lepas kendali.
Table 4.3
Penerimaan da pengeluaran APBN rill ( Rp konstan 1954 )
tahun
Penerimaan riil
Pengeluaran riil
1959
11,1
16,1
1960
16,4
18,3
1961
9,7
13,7
1962
4,5
7,4
1963
4,3
8,7
1964
2,8
7,7
1965
1,6
4,1
Catatan: penerimaan dan pengeluaran riil atau pada harga konstan, dihitung darti nilai nominalnyna dibagi indeks harga konsumen ( 1954=1 )
Table 4,4
Pos-pos pengeluaran pemerintah yang merupakan prioritas politik, 1958-1965 ( Rp miliar )
Tahun
Operasi keamanan
Irian barat & malaysia
Subsidi BUMN & swasta
Lain-lain
Total
1958
5,0

0,9

5,9
1959
8,2

3,1

11,4
1960
11,3

5,2

16,5
1961
11,2
10,4
7,4
14,6
33,2
1962
12,3
23,6
9,3
2,6
47,8
1963
11,4
21,0
13,9
7,5
53,8
1964
4,2
90,5
15,6
6,1
116,4
1965
5,6
567,1
15,8
388,0
985,5

Table 4,5
Pengeluaran prioritas politik dibanding dengan pengeluaran total APBN, 1958-1965 (Rp miliar)
Tahun
Total ( T )
Penegluaran prioritas politik ( P )
P/T (%)
1958
35,3
5,9
16,7
1959
44,4
11,4
25,7
1860
60,5
16,5
27,3
1961
88,5
33,2
37,5
1962
122,1
47,8
39,1
1963
329,8
53,8
16,3
1964
681,3
116,4
17,1
1965
2.526,3
985,5
39,0
           
Bagaimanpun, peperintah harus berjalan, tre sow ust go on, deficit  harus dibiayai. Cara yang paling, mudah ( dan satu-satuya yang terbuka pada waktu itu ) adalah dengan meminjam dari bank sentral ( BI ) yang memenuhinya dengan mencetak uang. Inilah sumber yang paling utama peningkatan uang beredar. Smentara itu, perusahaan-perusahaan negara yeng menjadi pilar utama system ekonomi terpimpin juga membutuhkan pembiayaan ini pun harus seluruhnya dipenuhi oleh perbankan ( termasuk BI ). Jumlah dana kredit perbankan yang dikucurkan untuk pembiayaan BUMN ini bahkan lebih besar daripada pengeluaran “ prioritas politik “ ( lihat Tabel 4,5 ). Kebijakan moneter dan perbankan tidak lagi mandiri, tetapi hanya melayani kebutuhan kebijakan kebutuhan fiscal dan kebutuhan pembiayaan BUMN-BUMN. Deficit APBN dan “ deficit “ pembiayaan BUMN yang makin besar dan yang dibiayai dengan pencetakan uang menyebabkan uang beredar, dan inflasi, lepas kendali ( Tabel 4,6 )



Table 4,6
Dukungan dana untuk BUMN, 1958-1965 ( Rp miliar )
Tahun
APBN
Kredit bank indonesia
Kredit bank-bank pemerintah
Total
1958
0,6
1,9
1959
3,1
7,2
7,4
17,7
1960
5,2
7,3
10,7
23,2
1961
7,4
12,8
14,4
34,6
1962
9,3
20,6
27,2
57,1
1963
13,9
41,0
50,8
105,7
1964
15,6
82,2
132,5
230,3
1965
15,8
334,4
527,0
877,2

Kita mencatat 2 langkah moneter yang drastic yang diambil pemerintah pada masa ini untuk mengendalikan uang beredar. Kedua langkah ini ternyata hanya mempunyai dampak minimal dan sangat sementara  pada uang beredar karena tidak menyentuh penyebab utamanya yang kita sebut tadi.
Table 4,7
APBN  dan uang beredar, 1959-1966 ( Rp mlilar )
Tahun
Penerimaan
Penegluaran
Defisit
Uang beredar
1959
30,6
44,4
-13,8
34,9
1960
53,6
60,5
-6,9
47,8
1961
62,2
88,5
-26,3
67,7
1962
74,0
122,1
-48,1
135,9
1963
162,1
329,8
-167,7
263,4
1964
283,4
681,3
-397,9
725,0
1965
960,8
2.526,3
-1565,6
2,572,0
1966
13,1
29,4
-16,3
22,2

Langkah penangan tanggung. Pada 25 agustus 1959 dilakukan apa yang ada  diwaktu itu dikenal dengan nama sanering ( arti harfiahnya: ´penyehatan ‘ ). Isinya: (a) menurunkan nilai mata uang kertas  Rp.500 dan Rp.1000 menjadi Rp.50 dan Rp.100; dan (b) membekukan 90% giro dan deposito di bank di atas Rp.25 ribu dan menukarnya dengan semacam surat utang pemerintah. Bersmaaan dengan itu, rupiah didevaluasi dari Rp.11,4 menjadi Rp.45 per USD, suatu langkah “ tanggung “ karena di pasar bebas pada waktu itu kurs sudah mencapai sekitar Rp.150 per USD. Seperti dapat dilihat pada tabel 4,7, dampak langkah moneter ini pada perkembangan uang beredar hampir tidak kelihatan, karena ada sumber utama kenaikannya ( deficit APBN dan “ deficit “ BUMN ) terus menciptakan uang  baru dalam jumlah yang jauh lebih besar.
Langkah kedua diambil pada 13 desember 1965 dalam suasana keputusan ditengah situaisi ekonomi ( dan politik ) yang sangat buruk, yaitu menurunkan nilai mata unag dari        RP. 1000 menjadi Rp.1 ( uang baru ). Langkah redenominasi ini secara substansi tidak punya pengaruh pada uang beredar. Situasi terus memburuk.
Hiperinflasi. Gejala ekonomi makro terpenting pada masa ini, yang perlu kita tarik pelajarannya, adalah hiperinflasi. Ia merupakan stadium terakhir dari penyakit inflasi yang menahan dan tidak ditangani dengan tuntas.
          Sekitar tahun 1961, inflasi “ biasa “ berubah sifatnya menjadi hiperinflasi. Hiperinflasi ditandai oleh laju inflasi yang sangat tinggi, barangkali di kisaran 100% atau lebih. Tetapi ada satu ciri khas yang membedakan hiperinflasi dari inflasi biasa: hiperinflasi selalu ditandai oleh hilangnya kepercayaan memegang uang. Begitu ia menerima uang, segera ia belanjakan untuk membeli barang untuk menghindari kerugian dari nilai uang yang merosot cepat. Gejala psikologis ini sulit diukur secara langsung, tetapi bisa dideteksi dari makin seringnya uang berpindah  tangan-kecepatan peredaran uang ( velocity of circulation of money )-“V”-yag meningkat.” Cara sederhana untuk mendeteksi kenaikan V adalah dengan melihat apakah laju inflasi lebih cepat daripada laju kenaikan jumlah uang beredar. Itulah yang terjadi mulai 1961    ( Tabel 4,8 ).
          Kenaikan V juga menimbulkan suatu parados ( gejala yang nampaknya bertentangan  dengan gejala lain ), yaitu meskipun jumlah uang beredar terus bertambah dengan cepat, para pelaku ekonomi selalu saja merasakan kekurangan likuiditas. Uang yang ada di tangan selalu tidak cukup untuk membiyai transaksi. Mengapa ini bisa terjadi ? jawabannya adalah dalam hiperinflasi, nilai riil yang beredar sebenarnya menurun,  sehingga masyarakat uang yang beredar tidak cukup untuk mendukung volume transaksi  dan kegiatan yang mereka bisa jalankan. Kenaikan harga yang lebih cepat daripada kenaikan uang beredar menggerogoti kemampuan uang yang beredar untuk mendukung transaksi. Gejala kekurangan likuiditasi ini berakibat pada proses transaksi yang seret dan akhirnya menghambat proses produksi dan kegiatan ekonomi pada umumnya hiperinflasi mengganggu sector riil.



Tabel 4,8
Kenaikan uangh beredar, kenaikan harga ( inflasi ) dan nilai riil uang beredar, 1950-1966
Tahun
   Kenaikan (%)

Nilai riil uang beredar dalam 1954 rupiah      ( Rp juta )

Uang beredar
harga

1950-1957*)
25
14
8,7
1958
55
18
12,1
1959
19
13
12,7
19601
37
20
14,5
1961**)
41
156
10,5
1962
101
129
8,2
1963
94
135
7,0
1964
161
445
7,6
1965
255
592
4,2
1966
763
635

*) rata-rat pertahun
**) mulai 1961, kenaikan harga ( inflasi ) lebih tinggi daripada kenaikan uang beredar: V meningkat
          Dampak negative hiperinflasi pada sector riil ini biasanya juga diperparah dengan adanya perubahan dalam psikologi para pelaku ekonomi, karena harga barang-barang meningkat dengan cepat, para pelaku ekonomi lebih tertarik untuk melakukan kegiatan jual-beli barang ( trading )-beli pagi, jual sore-daripada melakukan kegiatan produksi barang yang memakan waktu lebih lama dan yang lebih ribet pelaksanaannya. Dalam hiperinflasi, orang memilih kegitan jangka pendek yang cepat mendatangkan untung. Kegiatan produksi, apalagi investasi, makin ditinggalkan dan sector riil menderita. Orang lebih suka jadi pedagang daripada jadi produsen. Inilah yang terjadi di Indonesia waktu itu.
          Ada satu hal lagi yang perlu kita cata mengenai inflasi dan hiperinflasi. Inflasi ( apalagi hiperinflasi ) selalu melakukan interaksi yang intens antara ekonomi dan politik. Sejarah menunjukan bahwa hiperinflasi biasanya berakhir (  dan sering kali hanya bisa diakhiri ) dengan perubahan system politik. Itu terjadi di Indonesia pada 1966.
Stagnasi. Selama 1957-66 sektor-sektor utama ekonomi Indonesia  mengalami stagnasi atau kemunduran. Tabel 4,9 menggambarkan kondisi tersebut.
          Sector industry, transportasi, pemerintahan, dan jasa mengalami penurunan pertumbuhan yang drastis dibanding masa sebelumnya. PDB total dan PDB non-migas masih tumbuh, tetapi dibawah laju partumbuhan penduduk, sehingga PDB perkapita mengalami penuruna 0,6% per tahun selama masa ini. Sumber lain juga menggambarkan kondisi serupa: PDB per-kapita terus menurun mulai 1962 ( tabel 4,10 )
Tabel 4,9
Pertumbuhan rata-rata  PDB menurut sector dan PDB per kapita, 1949-57 dan 1957-66 (% per tahun)

1949-57
1957-66
Sector


Pertanian
2,3
2,7
Industry
10,9
0,3
Migas
12,9
4,5
Perdagangan
5,9
2,1
Transportasi
7,3
-1,7
Pemerintahan
6,8
-4,9
Jasa
5,5
0,9



PDB


Total
5,5
1,8
Non-migas
4,3
0,4
Per kapita
2,9
-0,6
Tabel 4,10
PDB dan PDB per kapita, 1951-1967
Tahun
PDB Riil ( 1938 = 100 )
PDB Riil per kapita ( Rp )
1951
90
2.126
1957
123
2.320
1960
123
2.441
1962
132
2.441
1964
134
2.364
1965
135
2.324
1966
139
1.271
1967
141
2.141

Penyebab stagnasi/penurun produksi adalah kombinasi dari sejumlah factor yang terjadi bersamaan, yaitu: (a) investasi ( terutama dari luar negri ) tehenti karena suasana politik dalam negri dan luar negri yang tegang; (b) penurunan efisiensi dan produktifitas pada perusahan-perusahaan yang dinasionalisasi dan perusahaan-perusahaan negara pada umumnya kaerena system ekonomi komando dan mismanagement; (c) infrastruktur ( ranfportasi, listrik, irigasi, dan sebagainya ) yang tidak terpelihara; (d) kelangkaan bahan baku/penolong produksi dan suku cadang karena kelangkaan devisa; (e) “ kelangkaan “ likuiditas rupiah dan pergeseran dari keguatan produktif ke kegiatan spekulatif sebagai akibat dari hiperinflasi
BAHAN RENUNGAN

          Masa yang diliput bab ini sekali lagi menggambarkan betapa erat interaksi antara ekonomi dan politik dalam praktik. Seperti yang disebutkan sebelumnya, secara umum kebijakan ekonomi selalu disubordinasi oleh tujuan politik, mari kita teliti. Kesepakatan KMB dimaksudkan untuk mencapai sasaran politik untuk menghentikan konflik bagian belanda dan memperoleh pengakuan onternasional. Sasaran itu dicapai dengan sejumlah biaya ekonomi yang harus ditanggung republik. Sasaran politik indonesianisasi sebagian dicapai, sekali lagi dengan biaya ekonomi. Upaya untuk mempertahankan kesatuan negara dicapai dengan memadamkan  pemberontakan didaerah yang membebani anggaran negara dan menimbulkan gangguan produksi di dareah utnuk beberapa tahun kemudian. Irian barat berhasil kita kembalikan ke pengakuan republic,  tapi juga dengan  biaya anggaran dan biaya-biaya ekonomi lain yang sangat besar. Seandainya dilakukan survey pendapat pada waktu itu, dan bahkan sekarang, barangkali mayoritas bangsa Indonesia akan mengatakan bahwa sasaran –sasaran politik tersebut memang seharusnya diperjuangkan untuk dicapai. Pertanyaan sekarang adalah apakah sasarn-sasaran itu harus dicapai at all cost ?  ataukah masih ada ruang untuk menghitung-hitung dan menimbang –nimbang biaya ekonominya ? kenyatannya, semua, atau hampir semua, sasaran politik itu diputuskan untuk dicapai tanpa ada perhitungan matang mengenai biaya ekonominya. Sebabnya barangkali karena sasaran-sasaran politik itu hampir selalu mempunyai bobot emosional besar dibenak orang sehingga cenderung menumpulkan semangat untuk melakukan perhitungan cost benefit yang objektif. Lagi pula, kenyataannya memang tidak mudah untuk menghitung dengan tepat biaya ekonomi dari suatu sasaran politik-yang sering kompleks dan multidimensi. Biaya ekonominya baru akan menarik perhatian ketika sudah berkumulasi dan berakibat pada situasi kehidupan ekonomi yang parah dan menimbulkan reaksi balik yang keras dari masyarakat, seperti yang terjadi pada akhir masa hiperinflasi. Pada saat seperti itu, ekonomi mensubordinasi politik. Keadaan ekonomi menuntut perubahan politik. Masalah memperkirakan biaya ekonomi dari sebuah tujuan politik perlu terus kita renungkan dengan jernih karena akan terus berulang terjadi dalam perjalanan bangsa. Barangkali belajar dari sejarah, kita sebagai bangsa menjadi makin arif dan makin cerdas dalam mengambil keputusan.

Komentar

  1. Casino Roll
    Slots - casino roll.com | Reviewed by Casino Roll! casino players have 룰렛 판 사이트 a bet365 배당 wide variety 카카오스포츠 of slots, including all of our favorite  Rating: 4.4 먹튀 검증 업체 순위 · ‎Review by 마틴배팅 Casino Roll!

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH HADIST ANJURAN UNTUK BEKERJA

Tokoh-Tokoh Tasawuf

FILSAFAT ILMU: AKSIOLOGI ILMU